Ahmadiyah Dalam Sorotan (4)


بسم الله الرحمن الرحيم

AHMADIYAH SEBAGAI DIABOLISME [x] (BAGIAN IV)
[x] gerakan/aliran yang ajaran-ajarannya diilhami oleh pengaruh-pengaruh Iblis.

LOVE AFFAIR MIRZA GHULAM, NABI PALSU FROM QADIAN
Sebuah kisah 1001 malam, Insya Allah membuat kita sedikit rileks daripada menceritakan terus menerus watak-watak keYahudian Mirza Ghulam Ahmad dan anak-anak buahnya. Sebuah kisah asmara dimana Mirza Ghulam Ahmad menjadi tokoh Majnun(gila)nya telah banyak diketahui masyarakat India.

Abubakar Najar seorang penulis India menceritakan kisah seribu satu malam itu dengan judul: “Tahukah Tuan Tentang Mirza Ghulam Ahmad yang Jatuh Cinta?” [1]

Artikel ini tidak ditulis sebagai suatu roman picisan sebagaimana buku komik khayalan Pustaka Al Kautsar editan Direktur Redaksi Abduh Zulfidar Akaha yang berkisah tentang kematian Lady Di, yang demi meraup keuntungan materi tega mencekoki kaum muslimin dengan Conspiracy kisah-kisah dusta. Ini adalah kisah nyata. Meskipun kedengarannya nanti sebagai suatu roman fantasi, namun cerita ini berasal dari tulisan yang orisinil dari pahlawan yang ada dalam cerita tersebut, yaitu: Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian yang oleh pengikut-pengikutnya diakui sebagai Al Masih, Al Mahdi, Nabi dan Rasul.


Ketika itu umur Mirza Ghulam Ahmad mencapai 50 tahun lebih. Keadaannya kian hari kian bertambah lemah disebabkan seringnya penyakit-penyakit datang menyerang. Ia juga mendapat serangan penyakit pada matanya.

Akan tetapi tidak disangka-sangka pada suatu ketika mendadak sorot mata Mirza menyala lagi. Apa gerangan yang menyebabkan mata yang sakit itu bersinar kembali? Ah, seorang dara ayu, bernama Muhammadi Begum telah tertangkap oleh pandangan mata Mirza. Dara itu adalah puteri dari paman ibunya, Mirza Ahmad Beg. Maka sudah menjadi suratan takdir bahwa pandangan pertama Mirza Ghulam menjadi titik mula terbakarnya sang api cinta dalam kalbunya.

Dan mujurlah kiranya, sebab ketika Mirza Ghulam Ahmad jatuh cinta, ia telah jadi rasul akhir zaman, sehingga harapannya untuk mempersunting sang dara tidak akan menemui kesulitan maupun rintangan.

Akan tetapi sayang sekali bahwa apa yang telah terjadi adalah sebaliknya. Ayah sang dara itu ternyata tidak tertarik pada kerasulan Mirza. Lebih-lebih lagi pinangan terhadap anaknya, ia tidak sudi mengorbankan anaknya demi memenuhi hasrat nafsu Mirza Ghulam yang sudah tua lagi sakit-sakitan itu. Apatah lagi reaksi sang dara, ia spontan menolak mentah-mentah pinangan nabi Ahmadiyah itu.

Mirza Ghulam Ahmad tidak menduga sama sekali, bahwa ia telah menerima jawaban yang sangat mengecewakannya. Karena itu ia segera mengumumkan tentang wahyu yang baru saja ia terima dari tuhannya. Ia berkata bahwa tuhannya telah mempertunangkan Mirza dengan dara ayu itu secara ghaib (spiritual). Dan bagi keluarga dara Muhammadi Begum, demikian kata Mirza, Tuhan akan memberi berkah bila nantinya mereka menyetujui pertunangan itu secara resmi. Juga Mirza tidak ketinggalan memberi satu peringatan keras, yaitu bila mereka menolak lamarannya itu atau mengawinkan anaknya dengan laki-laki lain, maka suami yang bukan Mirza itu akan mati dalam waktu dua setengah tahun kemudian. Tidak cukup itu, ayah sang dara akan mati dalam waktu tiga tahun sesudah perkawinan itu!

Mirza mengumumkan wahyu-wahyunya itu melalui risalahnya serta ia bagi-bagikan pada khalayak ramai. Hal ini pernah ia tulis dalam kitabnya: “Ainae Kemalati Islam” halaman 552. Juga tertulis dalam kitab Ahmadiyah “Facts About Ahmadiyyah Movement” halaman 34.

Dalam kitabnya yang lain yaitu “Izalatit Auham” halaman 396 Mirza mengumumkan bahwa Tuhan telah bersabda padanya:
“Bahwa puteri Ahmad Beg akan menjadi salah seorang isterinya, tetapi keluarganya akan menentangmu dan akan berusaha agar supaya perkawinanmu itu tidak terlaksana. Akan tetapi jangan kuatir karena Allah akan memenuhi janjiNya dan menyerahkan puteri itu padamu, dan tidak seorangpun yang sanggup menghalangi apa yang telah dikehendaki Allah”.

Sungguhpun demikian, orang-tua gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh wahyu nabi Qadian itu, dan dengan tegas ditolaknya lamaran Mirza.

Tatkala Mirza Ghulam mendengar lamarannya telah ditolak, maka hatinya menjadi gelisah dan kemudian segera ia umumkan wahyunya yang baru saja ia terima. Tersebut dalam kitab Asmani Risalat halaman 40 yang isinya antara lain:
“Aku Allah telah menikahkan gadis itu padamu, hai Mirza!” Tak ada perubahan atas kata-kataKu dan bila mereka melihat kekuasaanku terjelma, mereka akan berpaling dan berkata bahwa itu adalah sihir semata”.

Juga dalam kitabnya yang lain yaitu: Tuhfah Baqdad halaman 28, Mirza berkata bahwa Tuhannya telah menyampaikan wahyu padanya, antara lain:
“Bergembiralah engkau hai Mirza, bahwa Aku menikahkan engkau dan Aku telah kawinkan gadis itu dengan engkau”.

Sekali lagi wahyu-wahyu Mirza Ghulam tersebut tidak cocok dengan kejadian yang sebenarnya. Apa yang terjadi kemudian telah membawa kehidupan Mirza Ghulam menjadi semakin susah dan menderita karena cintanya tidak berbalas. Sebaliknya orang-tua gadis itu tetap menolak serta menganggap segala daya upaya Mirza itu sebagai kejenakaan belaka.

Tidak lama kemudian Mirza kembali mengumumkan tentang dirinya melalui berita berbahasa Arab dan ditujukannya pada para Ulama, Syaikh-syaikh dengan kata-kata:

“Telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, dan waktunya telah terjadi bersama-sama berkahNya yang telah mengumumkan Muhammad sebagai Rasul dan menjadikan beliau sebagai utusan terbaik serta manusia terbaik. Maka inilah kebuktian yang disampaikan juga kepadaku, bahwa ramalanku menjadi kenyataan dan aku tidak berkata tentang sesuatu sebelum Tuhan berkata padaku”.

Tampaknya Mirza Ghulam sedang bergembira karena turunnya wahyu itu, tapi anehnya ia masih tampak sedih dan letih. Semua hidupnya berangsur-angsur turun serta meredup, akhirnya ia menjadi buah tertawaan orang banyak karena wahyu-wahyunya selalu meleset!

Dengan sisa kekuatan yang ada Mirza Ghulam terpaksa harus membalas olok-olokan orang-orang itu serta berusaha menutupi kelemahannya. Dalam risalahnya tertanggal 10 Juli 1888 Masehi, ia membalas mereka yang memperolokkan itu dengan kata-kata :

“Mereka tidak percaya tanda-tandaku lalu mengejekku; tetapi Allah akan menjadikan hidupku jaya dan mengembalikan segala ejekan itu pada diri mereka sendiri. Inilah wahyu dan inilah kehendak Allah dan Dia tidak mengubah kehendakNya. Dia berbuat sesukanya. Sesungguhnya hai Mirza Aku beserta engkau dan engkau dengan Aku, kelak Tuhanmu akan mengangkat dirimu pada kedudukan yang terpuji”.

Adapun yang dimaksud dengan kata-kata “terpuji itu” ialah bahwa perkawinannya dengan gadis itu akan terlaksana. Selanjutnya ia mengumumkan dalam kitab Dafa Elwathawis halaman 228, sebagai berikut :

“Biarlah mereka yang mengingkari kebenaran akan diperingatkan dan menyesali diri mereka, demikian ramalanku pasti tepat”.

Semua itu adalah klimaks dari reaksi Mirza Ghulam, dimana ia telah mengancam melalui wahyu-wahyunya. Bahwa ia telah mengumumkan pertunangannya dengan Begum kemudian pertunangan itu ternyata diselenggarakan sendiri oleh Allah. Selanjutnya ia umumkan pula perkawinannya dan perkawinannya itu juga diselenggarakan oleh Allah karena kehendakNya pula. Akhirnya Mirza menegaskan bahwa semua itu pasti terjadi dan harus terjadi!

Dalam kitab Ahmadiyah, “Facts About Ahmadiyah Movement” halaman 31, seorang bernama Mesum Beg menulis satu pembelaan terhadap A1 Majnun Mirza Ghulam bahwa keluarga besar Ahmad Beg dimana sang dara itu berada, ternyata mereka ini kena pengaruh hukum maupun adat yang berlaku di kalangan masyarakat Hindu, yaitu bahwa satu perkawinan antar keluarga dekat seperti Mirza Ghulam dengan Muhammadi Begum tidak dapat dibenarkan. Hal ini, kata Mesum Beg terjadi juga tatkala Nabi Muhammad akan mengawini puteri Zainab. Maka jelaslah letak persoalan yang sebenarnya, mengapa Ahmad Beg menolak mengawinkan anaknya dengan Mirza yang masih kerabat dekat itu. Rupa-rupanya ia mengikuti satu peraturan bukan dari Islam. Benarkah itu semua? Abubakar Najjar melewati saja pembelaan Mesum Beg ini.

Bagaimana kisah selanjutnya dari love affair Mirza itu? Sembuhkah Mirza dari derita asmara yang terlanjur berkobar membakar sukmanya? Sayang sekali semua yang diimpi-impikan Mirza tidak terjadi.

Bagaimana dengan nasib Mirza? Hatinya makin remuk redam, lebih-lebih setelah didengarnya kabar bahwa keluarga gadis itu memutuskan untuk mengawinkan puterinya dengan seorang pemuda bernama Sultan Muhammad.

Mirza Ghulam sangat sedih, ia menangis dan menangis. Akhirnya ia menulis surat pada setiap keluarga gadis itu, mula-mula memberi peringatan, tapi akhirnya. ia mohon dengan sangat karena ia tak tahan lagi hidup tanpa gadis itu disampingnya.

Permohonannya tidak mendapat jawaban. Bahkan di antara mereka yang menolak permohonan Mirza itu adalah keluarganya sendiri, ia adalah anak isteri dari Fazl Ahmad. Akibatnya Mirza Ghulam terpukul lebih hebat lagi.

Kemudian iapun bertindak sesuatu yang tidak disukai oleh Agama, yaitu memerintahkan anaknya untuk menceraikan isterinya dengan segera. Terjadilah perceraian itu. Lebih dari itu, puteranya yang lain yang tidak menyukai cara-cara yang diperbuat ayahnya itu telah diusir oleh Mirza dari lingkungannya, bahkan ia tidak diberi hak untuk mewarisi. Peristiwa ini tersebut dalam kitab Seeratul Mahdi halaman 22.

Mirza Ghulam Ahmad menjadi seorang pecemburu tidak karuan; ia mengirim utusan-utusan pada keluarga gadis itu dan juga pada pamannya, mohon belas kasihan agar perkawinan gadis itu dengan Sultan Muhammad dibatalkan saja. Permohonannya itu ia umumkan dalam kitab Seeratul Mahdi halaman 174. Namun utusan-utusan itu tidak membawa hasil yang diharapkan. Mirza tidak dikasihani oleh keluarga gadis itu, juga tidak oleh gadis itu sendiri.

Bahkan suatu peristiwa yang mengejutkan Mirza Ghulam telah terjadi.

Pada tanggal 7 April 1892 Masehi, ketika pengikut-pengikut Mirza Ghulam sedang asyik berdo’a dalam masjid agar perkawinan itu batal, di luar masjid terjadilah keramaian dimana pernikanan dara ayu Muhammadi Begum dengan Sultan Muhammad tengah dilangsungkan.

Tidak ada yang lebih hebat terpukul selain yang dialami Mirza Ghulam Ahmad, suatu pukulan yang sekaligus menghantam hati dan prestisenya. Ia jadi patah hati, putus harapan. Dalam harian Al Hakam vol 5 no. 29 tertanggal 10-8-1901, ia menulis :
“Sesungguhnya gadis ini belum menjadi isteriku, namun demikian jangan kira aku tidak akan mengawininya, sebagaimana aku telah katakan sebelumnya. Dan barangsiapa yang mencemoohkan aku akan mendapat malu. Karena gadis ini masih hidup maka ia akan menemui aku dalam suatu perkawinan yang akan datang. Ini bukan hanya harapan melainkan suatu keharusan, karena Allah telah menyampaikan padaku tentang ini dan Allah tidak mengubah KehendakNya”.

Mirza Ghulam menanti-nanti harapannya itu, akan tetapi waktu yang dinanti-nantikan tidak kunjung datang, sedang ia telah terlanjur mengumumkan wahyu-wahyunya, antara lain ia berkata bila pinangannya ditolak, maka suami Begum yang sekarang akan mati setelah dua setengah tahun kemudian, menyusul ayah sang Begum enam bulan kemudian.

Maka waktu yang dinanti-nantikan itu telah tiba, dan waktu itulah yang menjadi bukti kebohongan Mirza Ghulam.

Mungkin akan menjadi kebanggaan baginya bila yang ia ramalkan akan menjadi kenyataan. Akan tetapi yang jelas, kesialan selalu mengejar hidup Mirza Ghulam. Ia hidup berantakan, isterinya yang pertama tidak bahagia lagi.

Dua setengah tahun telah berlalu, dua sejoli itu masih hidup bahagia. Ketika perang dunia pertama pecah, suami Begum ikut dalam peperangan, ia mendapat luka-luka tapi kemudian sembuh dan hidup kembali bersama isterinya bertahun-tahun dalam damai dan bahagia.

Pada tahun 1908, jauh sebelum perang dunia pertama itu pecah, Mirza Ghulam sudah berangkat mati bersama wahyu-wahyu setannya akibat penyakit kolera yang dideritanya!

Satu hal yang aneh bagi orang-orang yang mengetahui kisah Mirza Ghulam ini ialah, bahwa pengikut-pengikutnya masih bersitegang ingin membela nabi yang sial ini, agar tertutup rasa malu akibat kegagalan Mirza memikat sang dara Begum.

Pembelaan mereka ditujukan pada dunia di luar Ahmadiyah, yaitu bahwa apa yang telah diramalkan nabi India itu mengandung makna yang lain daripada yang dikatakan.

Dr. Nuruddin, khalifah Ahmadiyah yang pertama telah mengumumkan apa yang menjadi percakapan orang banyak, yaitu tentang ramalan-ramalan Mirza yang selalu meleset, terutama sekali tidak jadinya ia kawin dengan gadis pujaannya itu.

Dalam Review of Religion vol. 7 — no. 6 tanggal 8 Juni 1908, Nuruddin berkata :
“Kalau sekiranya salah seorang dari anak-anak atau cucu Mirza Ghulam Ahmad kejadian telah mengawini salah seorang puteri dari keturunan Muhammadi Begum, maka yang demikian itulah yang sebenarnya dari ramalan Mirza Ghulam telah terlaksana”.

Demikian pembelaan konyol kaum Ahmadiyah terhadap nabinya. Dan demikian pula kisah seorang yang mengaku Rasul, Nabi, Al Masih, dan Al Mahdi yang dinanti-nantikan telah menjadi korban asmara. Kisah yang sungguh terjadi, kisah A1 Majnun bertepuk sebelah tangan, lucu dan minta dikasihani.

Satu hal yang nyata dan benar dapat diangkat dari kisah yang diceritakan kembali oleh Abubakar Najjar yaitu kegagalan Mirza Ghulam Ahmad mempersunting seorang dara yang ia dambakan. Kegagalan inilah yang menghiasi kehidupan Mirza dalam segala aspek. Ia adalah manusia yang gagal segala-galanya.

ASNAGHAS WAHYU [2]
Habislah sudah masa rileks dengan Mirza. Kini beralih kembali pada sepak-sepak terjangnya yang menyakitkan. Ia mengetahui bahwa kegagalan-kegagalannya itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada usaha untuk menyembunyikannya dengan cara yang baik dan “sopan”.

Satu hal yang sering terjadi, jika seorang berkata terhadap dirinya sendiri: “Aku adalah orang terkuat”, maka orang itu sebenarnya bukan terkuat melainkan termasuk dalam kategori orang sembarangan. Kebetulan sekali Mirza Ghulam Ahmad terlibat keseluruhannya dalam situasi macam di atas. Ia sangat membangga-banggakan dirinya, bahkan tuhannya sendiri mengangkatnya pada derajat kemuliaan yang tiada taranya.

Namun demikian, sejarah sangat meragukan kebenaran derajat kemuliaannya itu. Dan keraguan itu justru sangat tepat.

Bila kita lihat sepak-sepak terjangnya yang begitu berbelit-belit. Bahkan ia adalah pribadi yang sangat mentah. Ia dan Ahmadiyahnya adalah satu topengan, dimana wajah dibalik topeng itu merupakan contoh figur kepalsuan dan kemunafikan semata-mata.

Anehnya wajah yang disembunyikan dengan baik itu, dikupas sendiri olehnya maupun oleh pengikut-pengikutnya. Pada bab-bab yang sudah, kita telah mengetahui watak-watak keYahudiannya. Maka untuk Selanjutnya kita akan mengetahui bahwa Mirza Ghulam Ahmad maupun Ahmadiyahnya sangat menyukai watak keYahudian tersebut, yaitu watak yuharrifunal kalimah ‘an mawadhi’ih dan watak Judas dalam kisah Perjanjian Barunya kaum Nasrani.

la memperoleh gelar dari pengikut-pengikutnya dengan gelar :
“s.a.w.” atau Sallalahu Alaihi Wasallam, satu gelar yang lazim disampaikan pada Nabi Muhammad. Kadang-kadang bila di Inggriskan gelar itu, maka sesudah menyebut nama Mirza Ghulam Ahmad ditambah di belakangnya dengan: “On Whom be Peace and Blessing of GOD upon Him” yakni upon Mirza. [3]

Sesudah itu, tidak ada lagi orang yang bisa menyamai Mirza, tidak juga seorang Nabi maupun seorang Rasul. Dengan lantang ia berkata :
“Jangan kamu samakan Aku dengan siapapun, dan jangan siapapun disamakan dengan Aku”. [4]

Kemudian Mirza menambal lagi kata-katanya :
“Sesungguhnya telapak kakiku ini di atas satu menara yang disudahi atasnya sekalian ketinggian”. [5]

Ia melanjutkan derajat ke-AKU-annya dengan berkata :

“Aku zahir sebagai satu kodrat Tuhan yang berjasad. Aku adalah kodrat Tuhan dan ada lagi beberapa wujud yang jadi , mazhar cermin, tempat zahir kodrat kedua. Sebab itu senantiasalah kamu berhimpun sambil berdoa menanti kodrat tuhan yang kedua itu”.[6]

Siapa yang dimaksud Mirza dengan kodrat kedua itu, kurang jelas. Mungkin itu “rohul kudus” dari tuhannya sesudah kematian Mirza? (7) Kelihatannya mirip dengan Trinitas ummat Kristen.

Selanjutnya sebagai kodrat Tuhan yang berjasad, Mirza Ghulam Ahmad masih ada padanya beberapa wujud yang lain, antara lain tuhannya sendiri telah berkata padanya :

“Wahai sang rembulan, wahai sang surya Mirza, Engkau dari AKU, dan Aku dari Engkau”. [8]

Mirza Ghulam sangat terharu mendapat panggilan dari tuhannya “sang rembulan dan sang surya”. Perpaduan Engkau dari Aku dan Aku dari Engkau, benar-benar telah menggambarkan satu keadaan dimana Tuhan sangat membutuhkan Mirza serta sangat menghormatinya. Ia mengatakan bahwa Tuhan telah memanggilnya sang rembulan karena ia laksana rembulan dari sang surya. Dan kemudian ia laksana sang surya, dan Tuhan laksana rembulan, oleh karena dari Mirzalah bulan Tuhan itu mendapat sinar dan akan bersinar cahaya kemenanganNya. [9]

Ternyata Mirza Ghulam Ahmad adalah bagian dari “Tuhan” yang aktif dan ia juga terbikin dari Tuhannya. Berkata tuhannya pada Mirza Ghulam :
“Wahai Mirza, Engkau terbikin dari Air-KU, akan tetapi mereka itu terbikin dari bibit yang lemah” .[10]

Melihat “wahyu tuhan” yang hebat dan sangat tidak masuk akal di atas, kaum Ahmadiyah segera mempersiapkan jawaban bila ada serangan dari luar. Bagaimana bisa Mirza terbikin dari Air Tuhan? Ahmadiyah menjawab:

“Telah jelas bahwa wahyu-ilham, nubuwah-nubuwah dan sebagainya termasuk urusan mutasyabihaat, mengandung ma’na spekulatip yang dapat diartikan macam-macam. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan pula orang yang mengatakan itu. Dengan demikian kita dapat terhindar dari tidak memberikan tafsiran yang bertentangan dengan maksud orang yang mengatakan sendiri. Ini adalah kaidah para ahli dalam ilmu” [11]

Oleh karena itu, kata Ahmadiyah selanjutnya, marilah kita lihat apa yang dikatakan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Ia berkata :
“Yang dimaksud “air-KU” ialah: air iman, air istiqamah, air taqwa, air kesetiaan, air kebenaran, air kecintaan pada Allah yang datang dari Dia juga. Fasyal adalah kepengecutan yang datang_dari setan”. [12]

Lebih lanjut Ahmadiyah menunjukkan contoh dalam Al Qur’an yang sama dengan wahyu “Air-KU” itu. Misalnya Tuhan berkata:

“Khuliqal insaanu min ‘ajal , artinya: manusia itu dijadikan dari kecepatan. (surah Anbiya 37) dan ayat : Khalaqakum min dhu’fin: kamu telah dijadikan dari kelemahan. (surah Rum 54). Benarkah manusia itu dijadikan dari kecepatan? Benarkah manusia dijadikan dari kelemahan? Jelaslah bahwa wahyu itu mengandung isti’arah yaitu kiasan”. [13]

Demikian penjelasan kaum Ahmadiyah dalam rangka menafsirkan wahyu “Air-KU” yang menakjubkan itu. Secara sepintas lalu, “mungkin” alam pikiran bisa menerima cara pembelaan kaum Ahmadiyah .itu, termasuk ucapan isti’arah Mirza. Akan tetapi sejarah nabi India dan pengikut-pengikutnya sama sekali tidak bermaksud beristi`arah atau berkias. Sebab meskipun pada kenyataannya ada tulisan-tulisan Mirza sendiri maupun tulisan pengikut-pengikutnya yang segera mengatasi atau membela maupun menafsirkan ucapan-ucapan Mirza Ghulam yang melampaui batas itu, namun pada hakikatnya karena faktor-faktor tertentu, mereka tidak dapat menyembunyikan figur yang sebenarnya dari nabi India itu.

Faktor yang pertama ialah, cara atau macam contoh-contoh yang dikemukakan mereka serba terlanjur, tergelincir dan blunder. Faktor yang kedua, dan inilah faktor yang terutama, ialah, terletak pada sang nabi India itu sendiri. Antara lain, faktor kejiwaannya, faktor kondisi tubuhnya dan faktor sejarah yang terjadi di sekelilingnya maupun yang terjadi sebelum ia muncul dengan seribu satu macam pangkat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an, surah Ath Thariq ayat 5 dan 6, bahwa manusia dijadikan dari air yang terpancar (“khuliqa min maa in dzaafiq”), surah Al Mursalaat ayat 20, bahwa manusia dijadikan dari air yang hina (“Alam nakhluqum min maa in mahiin?”). Itulah “air” kejadian manusia yang terdapat dalam Al Qur’anul Karim. Jelas bahwa mereka itu (“wa hum” dijadikan dari — min maa in dzafiq, wa hum min maa in mahiin, wa hum min fasyal).

Sedangkan wahyu Tuhan pada Mirza Ghulam Ahmad bahwa ia terbikin dari “air Tuhan” hanyalah satu kiasan semata?! Terserah bila itu hendak dipaksakan menjadi satu kiasan! Namun yang jelas itu bukan hanya satu kias belaka; melainkan juga satu bukti betapa tingginya derajat Mirza pada sisi tuhannya.

Contoh kedua yang dikemukakan Ahmadiyah yaitu: ayat 54 surah Ar Rum : kamu dijadikan dari kelemahan, “khalaqakum min dhu’fin”, Ayat ini sebenarnya masih panjang, tapi Ahmadiyah hanya mengambil sebagian dan memotong kelanjutan ayatnya. Kembali pada hobby mereka lagi. Padahal lengkapnya ayat itu berbunyi :

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu0 sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Jelas bahwa Ahmadiyah terang-terangan memotong ayat Al Qur’an, mengubah dha’fin menjadi dhu’fin, mengartikan lemah dengan arti kias, padahal lemah di situ adalah arti yang sebenarnya. Satu perbuatan blunder dan kurang ajar terhadap Kitab suci Al Qur’anul Karim, kitab sucinya umat Islam!!

Contoh ketiga yang dikemukakan Ahmadiyah yaitu ayat 249 dari surah Al Baqarah. Ayat tersebut dikutip sebagai berikut :

“Faman syariba minhu falaisa minni”. Diartikan oleh Ahmadiyah, siapa yang minum daripadanya (air-sungai) dia bukan daripada-KU”. Ahmadiyah langsung bertanya: “Apakah ini berarti bahwa orang yang tidak minum air sungai itu dia dari Tuhan? Ini senada dengan ilham hazrat Ahmad di atas (anta min maina—pen.) [14].

Ayat 249 suratul Baqarah di atas pernah kami kutip dalam bagian ketiga di bawah sub judul “Cabiklah Tirai Itu”, ketika membahas contoh watak-watak keYahudian kaum Ahmadiyah. Ayat tersebut sebenarnya masih panjang, tetapi pihak Ahmadiyah hanya mengambil sepotong saja. Kembali pada hobby mereka lagi, yuharrifunal kalimah ‘an mawadhi`ih. Padahal lengkapnya ayat ini berbunyi :

“Maka ketika Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu yang meminum airnya bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada merasakan airnya kecuali orang yang hanya menciduk seciduk tangan, maka ia adalah pengikutku”.

Itulah arti yang sebenarnya sesuai dengan sejarah terjadinya peristiwa tersebut. Bukan diartikan seperti kehendak kaum Ahmadiyah bahwa yang minum air dari sungai itu bukan daripada-KU (yakni TUHAN). Jelas bahwa Ahmadiyah terang-terangan berbuat: memotong ayat Al Qur’an, mengaburkan sejarah yang difirmankan oleh Allah, mengubah makna yang sebenarnya dengan memalingkan ke makna kiasan. Lagi, suatu perbuatan blunder dan kurang ajar!

Dari faktor pertama ini saja, sudah lebih dari cukup bagi sejarah untuk memberi merek abadi pada kaum Mirza Ghulam Ahmad sebagai kaum Musailimah Al Kadzdzab dan sekaligus kaum Yahudi India.

Lebih-lebih faktor kedua, Mirza Ghulam dan kaumnya akan telanjang bulat di atas panggung sejarah mempertontonkan segala kemunafikannya. Mirza Ghulam Ahmad terlalu membesar-besarkan dirinya, ataukah tuhannya yang sudah terlalu menyanjung-nyanjung Mirza? Yang jelas dan yang pasti, Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Suci dari “tuduhan” Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya bahwa Allah-lah yang memberikan ilham-ilham/wahyuNya kepada Dajjal Pendusta dari India ini!

Perhatikanlah bagaimana tuhannya Mirza berkata tentang Mirza :

“Ya Ahmad, Allah memberkahimu (“ya Ahmad barakallah fika”) [15]

“Ya Ahmad, nama-Mu bisa sempurna, tapi nama-Ku tidak bisa sempurna”. [16] (ya Ahmad yutimmu ismuka, wa la yutimmu ismii)

“wahai Ahmadku, kebahagiaan untukmu”. (busyra laka ya Ahmadii) [17]

“wahai Ahmadku, Engkaulah tempat keperluanku, dan Engkau beserta Aku”. (ya Ahmadi Anta muraadi wa ma’ii.) [18]

Demikian beberapa kali tuhan memanggil Ahmad, sebagai pujian serta sanjungan yang tak habis-habisnya sekaligus penghinaan terhadap dirinNya sendiri! Bagaimana kaum muslimin mengimani terhadap tuhan yang demikian? Namun tidak demikan dengan Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya, semua kegilaan, kekafiran, ketidakwarasan, keYahudian, keHinduan serta kekonyolan dan ketololan telah disatukan dalam molen putar yang bernama Ahmadiyah!!

Bagaimana kaum Muslimin akan “dipaksa” oleh Zoemrotin anggota Komnas HAM untuk menerima mereka sebagai saudara seiman seIslam yang harus dilindungi keyakinan bejat dan sesat serta kufurnya? Sungguh dia tidak menoleh sedikitpun kejahatan-kejahatan keji yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap Islam dan umat Islam!! Adapun Ulil dan JIL, sebagai pramunikmat dan gundik-gundik orientalis, sudah menjadi pekerjaan mereka untuk mencium pantat orientalis-orientalis kafir! Dengan proposal “menyakiti Islam dan umat Islam” itulah mereka hidup dan mencari makan!!

Pembaca sekalian, kembali pada ayat-ayat setan Mirza Ghulan Ahmad di atas, nama Mirza Ghulam Ahmad bisa “sempurna” kata tuhan, tetapi nama tuhan sendiri “tidak bisa sempurna”.
Satu hal yang luar biasa, betapa urgennya nama nabi India itu bagi tuhannya.

Bagaimana penjelasan Ahmadiyah tentang wahyu di atas, apakah kira-kira tidak keliru atau salah cetak? Bagi Ahmadiyah, karena itu adalah wahyu Tuhan maka tidak ada yang keliru atau salah cetak. Bahkan penjelasan dari wahyu yang luar biasa itu diberikan oleh Mirza Ghulam sendiri.

la mengatakan bahwa wahyu “namamu bisa sempurna” itu artinya: bahwa ia (Mirza) akan mati dan pujian baginya akan habis pula. Kemudian dengan wahyu: “Nama-KU tidak bisa sempurna” diartikan oleh Mirza, bahwa puji-pujian bagi Allah tidak akan habis-habisnya. [19]

Penjelasan Mirza Ghulam tersebut bertolak belakang dengan wahyu Tuhan yang ia terima. Bagaimana bisa demikian, namamu bisa sempurna, diartikan tidak sempurna, mati dan habis. Sedangkan, nama-KU tidak bisa sempurna, diartikan sempurna dan kekal? Blunder lagi, bukan?!

Meskipun demikian tuhan membutuhkan Mirza Ghulam. Bahkan lebih dari kebutuhan, ia menjadi pilihan bagi tuhannya. Untuk ini Tuhan berkata pada Mirza:
“Engkau Mirza terpandang di hadirat-Ku, AKU pilih engkau bagi Diri-KU”. (wa Anta wajiihun fi hadhroti ikhtartuka li nafsii) [20]

“Engkau kepada-KU hai Mirza, di suatu martabat yang tidak diketahui oleh manusia”. (wa Anta minni bimanzilatin la ya’lamuhal khalq) [21]

“Allah memujimu dari Arsy-Nya”. (yahmadukallah min arsyihi) [22]

“AKU Allah memujimu dan menyampaikan salam sejahtera padamu”. (nahmaduka wa nushalli). [23]

“AKU banyak menyampaikan salam padamu”. (Alaika salaam katsir minni) [24]

‘Ya nabi Allah, tadinya AKU tidak kenal padamu“. (ya nabiallah kuntu la a’rifuka) [25]

“Wahai gunung-gunung dan burung-burung! ingatlah AKU bersama Dia dengan perasaan asyik dan terharu”. (ya jibaalu awwibii ma’ahu wath thair). [26]

“Engkau beserta AKU dan AKU beserta Engkau, rahasiamu itu adalah rahasia-KU”. (Anta ma’i wa Ana ma’aka, sirruka sirri) [27]

Demikian limpahan puji dari tuhannya Mirza Ghulam Ahmad.

Karenanya tidak aneh kalau Mirza Ghulam berani memperlihatkan segala sepak terjangnya bahkan kalau perlu ia marah dan marah sekali! Sebab kemarahan Mirza adalah kemarahan Tuhannya. Berkata Tuhan pada.Mirza :

“Bila Engkau marah, AKUpun marah juga dan bila Engkau suka pada seseorang, AKUpun juga suka padanya”. (idza ghadibta ghadibtu wa kullama ahbabta ahbabtu) [28]

Keberanian Mirza lebih galak lagi, tatkala Tuhan memberi kabar wahyu padanya :

“Bersamamu wahai Mirza, tentara di langit dan di bumi”. (wa ma’aka jundus samaawati wal aradhiin) [29]

Kemudian Tuhan memberi satu jaminan pada Mirza bahwa tidak akan ada siksaan bila di suatu tempat ada Mirza Ghulam Ahmad. Tuhan Mirza berkata :

“Dan sesungguhnya Allah tidak akan mendatangkan adzab pada mereka jika engkau berada di tengah-tengah mereka”. (ma kanallahu liyuadzdzibahum wa Anta fihim) [30]

“Aku besertamu, beserta keluargarnu dan beserta orang-orang yang mencintaimu”’ (inni ma’aka wa ma’a ahlika kullu man ahabbaka). [31]

“Siapa yang datang padamu, maka ia telah datang pada-KU”. (man ja’aka ja’ani). [32]

“Allah memujimu dan mengangkatmu pada derajat yang tinggi”. (sabbahakallahu wa rafa’aka). [33]

“Jika tidak karena Engkau ya Mirza, AKU tidak jadikan Alam ini (Lau laka lama khalaqtuliaflaaka) [34]

Bukan main, tidak dijadikan alam kalau tidak karena Mirza Ghulam Ahmad ! Alangkah hebat kedudukan Mirza. Ini adalah puncak dari semua kegilaan Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmadnya!! Tetapi jangan salah, wahyu Iblis di atas bukanlah puncak kegilaan tertinggi dari keIblisan Mirza Ghulam Ahmad bersama Ahmadiyahnya! Apa lagi yang kurang untuk ditambahkan bagi mempertinggi derajat Mirza Ghulam di sisi tuhannya? Tentu saja hal itu masih kurang, kata Mirza dan Ahmadiyahnya. Bahkan itu masih jauh daripada derajat yang diperoleh Mirza Ghulam Ahmad.

Wahyu-wahyu yang lebih hebat lagi turun melimpah menimpa Mirza Ghulam dari tuhannya. la selalu berhubungan dengan tuhannya. Kadang-kadang tuhannya turun untuk memujinya, dan pada saat-saat yang sangat luar biasa, Mirza Ghulam naik menemui tuhannya. Sungguh situasi kerohanian yang tiada tara bandingannya bagi sejarah Islam yang hampir-hampir dilupakan atau dilewati begitu saja.

Satu hal yang pasti mengapa sejarah tidak ambil pusing dengan peristiwa “orang Qadian” ialah, bahwa Mirza Ghulam Ahmad (disebabkan faktor-faktor yang sudah disebutkan terdahulu) bukan seorang yang mendapatkan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, melainkan ia memperoleh wahyu-wahyu Iblis. Dan memang itulah satu-satunya kenyataan.

QUR’AN MADE IN QADIAN
Satu hal lagi yang menarik dari tingkah laku nabi India itu ialah koleksi wahyu-wahyunya. Di antara kitab-kitab yang ia tulis ada semacam kitab suci, di mana di dalamnya terdapat kumpulan kumpulan wahyu yang ia terima dari tuhannya kemudian wahyu wahyu itu ia gabungkan dengan potongan-potongan ayat suci Al Qur’anul Karim.

Ayat-ayat Al Qur’an yang dijiplak Mirza Ghulam Ahmad itu dimasukkan dalam karangannya secara terpotong-potong. Kemudian ia rangkaikan potongan-potongan ayat suci itu dengan ucapan-ucapannya sendiri dan hasilnya mirip firman-firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an, namun pada kenyataannya merupakan Qur’an Baru made in Qadian.

Bila hendak memulai membaca kitab suci Qadian itu, bagi orang-orang Ahmadiyah ditanam pada lubuk hati mereka keimanan bahwa kitab suci Mirza Ghulam Ahmad sama dengan kitab suci Al Qur’anul Karim. Tentu saja keimanan yang demikian itu harus tertanam pula pada orang-orang yang bukan Ahmadiyah apabila mereka bermaksud memasuki aliran Mirza Ghulam.

“Kita mengimani sebagaimana kita mengimani kitab yang diturunkan pada Nabi Khaliqil Anam. [35]” demikian kata Mirza.

Mirza Ghulam selanjutnya mengatakan bahwa wahyu-wahyu yang ia terima dari tuhannya itu terkadang ia terima secara langsung, atau melalui perantara, yakni melalui malaikat. Ia berkata :

“Telah datang kepadaku Malaikat Jibril. Malaikat Jibril dalam kitab Mirza Ghulam Ahmad disebut : Ayl. [36]

Di manakah wahyu-wahyu dari tuhannya itu diturunkan? Tentu saja jawabnya: “di India, jelasnya di Qadian maupun di sekitarnya.”

Mengenai tempat di mana wahyu itu diturunkan dan mengenai hakikat dari wahyu itu sendiri, tuhan Mirza Ghulam Ahmad berkata padanya :
“Sesungguhnya dia (Kitab) itu diturunkan pada tempat yang dekat dengan Qadian. Dengan Kebenaran dia diturunkan, serta dengan Kebenaran pula turunnya”. [37]

Maka inilah dia, Qur’an made in Qadian. Dimulai dengan ucapan : “Bismillahir Rahmanir Rahiim. [38]
Ya Ahmad Barakallah fiika, Ma ramaita idza ramaita wa laakin Allaha rama; Ar-Rahmaan; ‘Allamal Qur’an; Litundzira Qauman maa undzira aabauhum wa litastabiina sabilal mujrimin, Qul inni umirtu wa ana awwalul mu’minin; Qul ja’al haqqu wazahaqal batil innal baatila kana zahuuqa. [39]

Di halaman yang lain dari kitab suci Qadian itu, Mirza menerima wahyu;
“Fantazhiru Ayaati hatta hiin; Sanuriihim ayaatina fil afaaq wafi anfusihim, Hujjatun qaaimatun wa fathun mubiin, Innallah yafsilu bainakum innalaha hia yahdi man huwa musrifun kadzdzaab, Wadha’na Anka wizrak alladzi anqadha dhahraq; Waqatha’a dabiral qaumal ladzhiina la yu’minun, quli’malu ala makamatikum inni ‘amilun fasaufa ta’malun, Innallaha ma’alladzinat taqau walladzina hum muhsinun, hal ataaka haditsuz zalzalah, idza Zulzilatil ardhu zilzalaha, wa akhrajatil ardhu atsqalaha, waqaalal Insaanu malahaa, yaumai idzin tuhaddisu akhbaraha, bi anna Rabbaka auha laha, Ahasiban nasu anyutraku, Wama ya’tiihim illa baghtatan,” [40].

Di halaman lainnya lagi dari kitab suci Qadian, Mirza menerima wahyu tuhannya:
“Afata’tunas sihra wa antum tubshirun, haihaata haihaata lima tu’adun, man hadzal ladzii huwa mahinum jahilun au majnun, qul indi syahaadah minallah fahal antum muslimun, aul indi syahadah minallah fahal antum mu’minun, walaqa labistu fikum ‘umraan min qalbihi afala ta’qilun, hadza min rahmati rabbika yutimmu ni`matahu ‘alaika, fabasysyir wamaa anta bini’mati rabbika bimajnun, laka darajah fissaama’ wafil ladziina hum yubshirun, [41]

Itulah di antaranya koleksi wahyu-wahyu Mirza Ghulam Ahmad sebagai kitab suci yang sejajar dengan Al Qur ‘anul karim. Pada kitab karangan Mirza Ghulam lainnya yaitu Khutbati Ilhamiyah, terdapat rangkaian bahasa Arab yang dilukiskan sebagai bahasa Arab yang tidak terlawankan ketinggiannya. Bashiruddin Mahmud Ahmad puteranya, berkata:

“Keajaiban dari bahasa Arab Mirza Ghulam Ahmad menyamai keajaiban bahasa Al Qur’an. Itulah salah satu tanda kebenaran missi Al-Masihnya”. [42]

Bagaimana dengan kedudukan Al Qur’an? Untuk Al Qur’an sendiri, Mirza Ghulam Ahmad mempunyai pandangan yang menghina. Ia berkata :
“Al Qur’an itu Kitab Allah dan Kalimah-kalimah yang keluar dari mulutku”. [43]

Dengan kata-kata sihirnya yang menarik itu, bahwa kitab suci karangannya harus diimani sebagaimana mengimani Al Qur’an, keajaiban bahasa arabnya sama dengan keajaiban bahasa Al Qur’an, dan Al Qur’an sendiri merupakan kalimah-kalimah yang keluar dari mulut Mirza! Maka bisa dipastikan sepasti-pastinya bahwa ucapan-ucapan yang demikian itu tentunya dituntun dan diajarkan oleh Iblis laknatullah ‘Alaihi. Wallahu a’lam, tidak ada seorang nabi palsu yang pernah muncul dalam sejarah Islam yang lebih berani bertingkah ucap sebagaimana nabi India Mirza Ghulam Ahmad Al-Kadzdzaab.

Justru yang dikatakan wahyu-wahyu dari tuhannya itu lebih banyak merupakan sanjungan pada dirinya bahkan sangat berlebih-lebihan cara memujinya. Pernah tuhannya Ahmadiyah berkata pada Mirza Ghulam Ahmad:
“Tidak aku utus engkau ya Mirza, kecuali menjadi rahmat bagi semesta alam”. [44]

Lebih tinggi dari itu, tuhan Mirza mengeluarkan emosinya dengan puja-puji yang luar biasa pada Mirza Ghulam Ahmad. Antara lain tuhannya berkata:
“Engkau wahai Mirza bagiku adalah seperti tauhidku dan ketunggalanku”. [45]
“Engkau wahai Mirza bagiku adalah seperti anak-anakku”. [46]

Ahmadiyah dengan cepat mengomentari wahyu tuhan pada nabi India itu, dengan mengatakan bahwa siapa dari orang-orang yang taat pada Tuhan maka mereka adalah anak-anakTuhan, walaupun ini maksudnya bukan dalam arti anak-anak Tuhan yang riil. [47] Children of God yang dikomentarkan Ahmadiyah itu kelihatannya sangat mirip dengan ajaran Kristen bahwa kaum Israili ataupun mereka yang taat pada Tuhan adalah juga terkenal dengan panggilan “putera-putera tuhan”.

Pada kesempatan yang lain, tuhan Mirza lebih menyanjung Mirza Ghulam Ahmad pada posisi top yang mungkin telah cukup memadai (baca: melebihi) kedudukannya jika dibanding Yesus Kristus. Tuhan Mirza berkata padanya :
“Engkau wahai Mirza bagiku adalah anakku”.[48]

Bagaimana komentar Ahmadiyah; bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah anak Tuhan.?! Untuk ini kaum Ahmadiyah berkata :
“Karena orang-orang masehi dengan bohong dan palsu menempatkan Al Masih sebagai anak Tuhan yang asli, sebab itu ghairahKu menghendaki supaya AKU mencintai engkau sebagai halnya mencintai anak, sehingga nyatalah kepada dunia bahwa murid dari Nabi Muhammad s.a.w. pun dapat sampai kepada maqam Athfatullah”. [49]

Dengan pangkat yang sedemikian meroket, Mirza Ghulam telah sampai pada derajat yang tidak terjangkau lagi oleh Yesus Kristus kaum Nasrani.

Bahkan tuhannya berkata pada Mirza Ghulam Ahmad :
“Apabila engkau wahai Mirza menghendaki sesuatu apa saja, maka cukup engkau katakan: jadilah, maka jadilah ia [50]

Di sinilah Mirza Ghulam Ahmad mengikrarkan diri telah duduk dalam posisi derajat ketuhanan, bukan hanya meletakkan dirinya dalam jajaran para Nabi Palsu, bahkan dia adalah tuhan palsu! Bukan saja lampu Aladin menjadi miliknya, melainkan juga kata-kata “Kun fa yakun” ada dalam kekuasaannya. Apakah ada yang lebih dahsyat dari semua kegilaan dan ketololan ini?!

Sudah tentu orang yang mempunyai kekuasaan kun fa yakun akan mampu melahirkan segala yang luar biasa termasuk bahasa Arab yang tidak tertandingi oleh siapapun juga. Mu’jizat bahasa Arab Mirza Ghulam Ahmad sama dengan mu’jizat Al Qur’an, sebagaimana dikatakan terdahulu. Yang perlu untuk ditilik kehebatan bahasa Arabnya ialah bagaimana pada suatu waktu tuhan Mirza mengirim wahyu kepadanya dengan bahasa Arab yang membuat mata terbelalak terbahak-bahak. Bukan terbelalak karena keindahan bahasanya melainkan terbelalak karena ketololan kata-katanya.

Inilah dia wahyu tuhan pada Mirza itu :
“Wahai Maryam tinggallan engkau bersama istrimu di sorga”. (Ya Maryam Askun Anta Wa zaujukal jannata.) [51]

Kelihatan di sini tuhan Mirza memang tuhan tolol. Ia tidak bisa bahasa Arab bahkan keliru besar. Mula-mula, nama Maryam itu sendiri adalah nama wanita. Seharusnya kata-kata Anta di situ diganti Anti. Kemudian yang lebih menarik lagi Tuhan mengatakan, ya Maryam engkau bersama isterimu, ini jelas berarti perempuan kawin dengan perempuan, apa bukan lesbian yang demikian ? Lesbian di negeri Baitul Futuhnya Ahmadiyah, UK Inggris http://img81.imageshack.us/img81/4779/dipangkuanibuse8.jpg adalah hal yang “resmi” dan dianggap sebagai bagian dari HAM (Hak Asasi Manusia) yang mesti dilindungi dan dibela-bela, adapun di surga, di jannah? Tidak ada yang meresmikannya kecuali “surga”nya ahlul maksiat dan kuffar!!

Semoga Ibu Zoemrotin “sempat” membaca tulisan ini di sela-sela kesibukannya yang padat dan sungguh-sungguh dalam membela HAM (Hak Asasi Maksiat) Ahmadiyah. Jangan mentang-mentang menjadi “pegawai negeri” kemudian melecehkan dan mencibir “kelompok atau organisasi swasta”.

http://img131.imageshack.us/img131/8736/komnasbekingahmadiyahtv3.jpg

Kalau ibu Zoemrotin merasa tersinggung dengan penyesatan MUI terhadap Ahmadiyah, maka kami umat Islam lebih tersinggung dan marah karena ibu telah membela kanker kesesatan dan kekufuran Ahmadiyah yang diberi label Islam. Kalau saja ibu seorang muslimah yang baik, tentulah kehormatan Islam, Al Qur’an, Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang lebih berhak dan lebih wajib dibelanya serta dijunjung tinggi-tinggi dan bukan penista-penista Islam dan ajaran kufur Ahmadiyah yang dibela-belanya. Semoga Allah memberinya hidayah dan petunjuk, amin.

Jadi wahai saudaraku sekalian rahimakumullah, Ahmadiyah bukanlah perseteruan “lokal” antara MUI di satu sisi dengan Ahmadiyah bersama pembela-pembelanya di sisi lainnya, tetapi persoalan Ahmadiyah adalah persoalan Islam, persoalan seluruh kaum Muslimin yang mendapatkan serangan dari agama yang dibentuk dan didirikan oleh penjajah Brittania, Inggris ketika menjajah anak benua India.

Pembaca rahimakumullah, di manakah letak kewarasan akal Mirza Ghulam Ahmad, putranya maupun para pengikut-pengikutnya apabila melihat bentuk wahyu Tuhan di atas? Jika mereka masih bisa menggoyang lidah dengan memutarbalikkan fakta keblunderan bahasa nabinya itu dengan mengatakan bahwa yang dimaksud nama Maryam itu adalah Mirza Ghulam Ahmad, seorang laki-laki atau lebih jelas yang dimaksud adalah Ibn Maryam sebab Mirza sering dinamakan Al Masih ibn Maryam; maka dengan cara itu pula berarti Tuhan telah keliru berfirman. Maunya sebut Ibn Maryam, yang kena hanya Maryamnya saja. Jika itu maksudnya, maka tuhan Mirza nyatanya sudah keliru juga dalam menyusun bahasanya. Ataukah sebagaimana lazimnya Ahmadiyah akan mengatakan bahwa itu adalah keliru cetak? Ataukah “nabi” Mirza memiliki gangguan pendengaran atau mengidap “kopoken” (bahasa Jawa untuk penyakit telinga yang mengeluarkan cairan dan baunya Masya Allah) sehingga salah mendengar isi wahyu dari tuhannya? Sungguh hal yang sangat sangat berbahaya bahwa seorang nabi India jika memiliki penyakit THT, wahyu bisa salah alamat, bengkok dan tidak tepat sasaran! Maunya “syariat” pernikahan antara lelaki dan wanita, karena nabinya “kopoken” akhirnya “salah sasaran” sehingga a diresmikanlah syariat wanita menikah dengan wanita. Pantas saja di Inggris Ahmadiyah berkembang pesat! Selain memang Ahmadiyah “made in” Brittania, juga daya tarik wahyu “lesbianisme” Ahmadiyah yang begitu sebanding dengan kekufuran dan kemaksiatan. Ahmadiyah…Ahmadiyah.

Tentu saja mana-mana yang bisa diterima oleh logika boleh diambil Ahmadiyah. Namun yang pasti, gelar Sultanul Kalam yang ada pada Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sultan-sultanan saja alias SULit taTANannya alias ngawur-ngawuran, konyol-konyolan dan tolol-tololan. Bukankah demikian wahai Ulil Abshar Abdalla?!

MIRZA TUKANG LAKNAT
Pada suatu hari seorang Aligarh (tentang organisasi ini, lihat catatan kaki terhadap Sayyid Ahmad Khan di artikel bagian pertama) bernama Muhammad Ismail Sahib telah melontarkan tuduhan-tuduhan pada Mirza Ghulam Ahmad. Menurut Mirza sendiri ulama tersebut adalah imam dari mesjid Aligarh, seorang sastrawan yang kenamaan. Akan tetapi celakanya, kata Mirza melanjutkan, bahwa ulama itu telah melancarkan tuduhan-tuduhan gila pada Mirza. Ia menggunakan kecurangan dan kebohongan terhadap diri Mirza.
Segala fitnahannya itu telah diterbitkan oleh sahabat Mirza Ghulam Ahmad bernama dokter Jamaluddin. [52]

Maulvi Muhammad Ismail Sahib dalam “fitnahannya” menuduh Mirza Ghulam Ahmad dengan kata-kata:
“Orang ini, yakni Mirza, sama sekali tidak berwenang dan tak mencapai apa-apa dalam lapangan sastra”.

Mendengar tuduhan Ismail Sahib itu, Mirza bangkit amarahnya dan spontan menjawab:
“O, tuan, saya tidak mendakwai suatu kearifan atau ilmu tentang dunia ini; apakah yang saya buat dengan ilmu kelicikan duniawi itu, tetapi bagi saya satu hal saja sudah cukup yakni bahwa kemurahan tuhanku telah datang membantu saya dan memberkati saya dengan ilmu pengetahuan yang tak berasal dari sekolah atau sekolah tinggi manapun juga, melainkan dari Guru dari langit jua. Jika saya buta-huruf bagaimana kehormatan saya direndahkan karenanya? Bahkan sebaliknya itu adalah kebanggaan bagi saya sebab bukan saja pengajar saya melainkan juga pengajar seluruh makhluk-makhluknya sendiri (yakni Nabi Muhammad) adalah seorang buta huruf atau ummi”.

Jelasnya Mirza Ghulam Ahmad tidak merasa terhina dengan tuduhan Ismail Sahib, sebab ia tidak belajar dari sekolah tapi dari langit jua. Itulah kemuliaan sebagaimana yang diterima setiap nabi.

Kemudian Maulvi Muhammad Ismail Sahib meneruskan tuduhan-tuduhannya pada Mirza Ghulam Ahmad dengan perkataan-perkataannya yang tajam:
“Saya tidak dapat percaya bahwa orang itu (Mirza) juga menulis karangan-karangan yang baik”.

Maka Mirza Ghulam Ahmad dengan emosi tak tertahankan menangkis kata-kata lawannya itu dengan jawaban-jawaban lantang:

“Tak mengherankan kalau saudara tak percaya sebab kepercayaan seperti itu tak tercapai oleh orang-orang kafir yang melihat sendiri nabi suci sekalipun dan jika mereka itu tidak diberi malu, keunggulan nabi suci tak akan dapat jadi terang atau nyata bagi mereka….Dan apa yang keluar dari mulut Maulvi Sahibpun boleh jadi benar juga, sebab tidak syak lagi kata-kata Qur’an suci jauh melebihi kemampuan akal nabi di dalam hal gaya bahasanya, pilihan kata-katanya dan kearifannya…. Demikian pula buku-buku yang dikarang dan juga diterbitkan oleh hamba yang hina ini sesungguhnya hasil dari bantuan Ilahy dan buku-buku itu sungguh melampaui kecakapan dan kemampuan yang sebenarnya dari pada hamba yang hina ini… Bahwa ada orang yang berkata kemudian bahwa buku-buku ini bukan hamba yang mengarangnya”.

Terasa legalah bagi Mirza Ghulam setelah seluruh emosi kemarahannya terlontarkan pada Ismail Sahib. Padahal tanpa mengeluarkan kemarahan demikian, Mirza Ghulam seharusnya sudah lega dengan serangan lawannya itu. Bukankah ia sudah diidentikkan nasibnya dengan nabi Muhammad? Perbedaannya di sini ialah bahwa pada zaman Mirza yang meragukan maupun yang membantah ialah seorang muslim, bukan seorang kafir.

Bagi Ismail Sahib sendiri, ia tidak menghentikan serangannya sampai di situ, melainkan bertambah gencar serangannya. Berkata Ismail pada Mirza:

“Sayid Ahmad seorang Arab yang saya kenal sebagai seorang yang berkata benar…, setelah hadir pada setiap kesempatan yang penting untuk menguji dan menyelidiki dia (Mirza Ghulam) maka dia (sayid) itu berpendapat bahwa dia (Mirza Ghulam) memiliki tenaga-tenaga sihir dan menggunakan tenaga itu”.

Mau apa lagi Mirza Ghulam Ahmad? Empat belas abad yang silam nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dituduh juga sebagai seorang yang memiliki tenaga sihir dan menggunakan tenaga itu. Seharusnya Mirza Ghulam lebih lega lagi dengan tuduhan itu. Akan tetapi dengan kemarahannya yang meluap-luap ia berkata:

“Mari kita panggil anak-anak lelaki kamu dan anak-anak lelaki kami dan perempuan-perempuan kamu dan perempuan-perempuan kami dan orang-orang kamu dan orang-orang kami, kemudian baiklah kita berdo’a dengan sungguh-sungguh dan memohon laknat Allah atas pendusta”.

Ismail Sahib tidak ambil pusing dengan panggilan anak-anak kamu dan anak-anak kami itu, melainkan aa terus melancarkan serangannya pada Mirza dengan berkata:
“Kalau saya memikirkan kalimat-kalimat yang diwahyukan padanya maka saya sekali-kali tak dapat percaya bahwa kalimat-kalimat itu wahyu”.

Ada-ada saja yang dituduhkan Ismail pada Mirza Ghulam; dengan sendirinya kalau ia tidak percaya pada kenabian Mirza Ghulam Ahmad, bagaimana ia bisa percaya pada kalimat-kalimat wahyunya itu? Namun demikian tuduhan sudah terlanjur dilontarkan dan bagi Mirza sendiri tidak ada alternatif lain selain melabrak lawannya itu dengan pukulan-pukulan yang jitu. Mirza Ghulam Ahmad berkata:

“Tentu saja, keturunan-keturunan yang tentang mereka itu tuhan berkata: Dan mereka itu menolak pekabaran-pekabaran kami dengan mendustakannya. Keturunan-keturunan itupun tidak percaya, Fir’aun tidak percaya; alim-ulama dan orang Farisi (orang-orang munafik di zaman nabi Isa) tidak percaya; Abu Jahald an Abu Lahab tidak percaya”.

Maka Ismail Sahibpun termasuk dari keturunan-keturunan yang tidak percaya itu. Celakalah orang dari Aligarh ini, ia telah dipersamakan dengan kaum kafir zaman nabi. Akan tetapi bagi Ismail Sahib sendiri, ia mempunyai alasan kuat untuk tidak mempercayai Mirza Ghulam Ahmad, baik sebagai nabi maupun sebagai Al Masih Al Mau’ud. Itulah sebabnya ia masih terus melancarkan serangannya pada Mirza Ghulam Ahmad yang pemarah. Ia berkata pada Mirza:

“Bahwa ia Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya penerima ilham atau wahyu itu tidak selaras dengan kuasa ghaib dan menjawab dengan berkata: bahwa orang yang menolak harus datang melihat adalah suatu alasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan”.

Mirza Ghulam Ahmad menjawab:
“Perkara-perkara ini bukan dari seorang manusia melainkan dari DlA…maka pemuja kebenaran yang manakah dapat menolaknya sebagai perkara-perkara palsu?”

Demikian beberapa tuduhan Ismail Sahib pada Mirza Ghulam Ahmad yang sangat mirip dengan tuduhan kaum kafir pada nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Suatu kebahagiaan buat Mirza jika ia menerima tuduhan itu apa adanya. Bukankah ia senasib dengan nabi? Apa mau dikata kalau si “nabi” tidak mau kata-katanya…

YESUS INDIA (Inkarnasi Srinagar)
Pada waktu Ismail Sahib melancarkan tuduhan-tuduhan pada Mirza Ghulam, orang yang terakhir ini sudah berada dalam puncak kemuliaannya. Di samping pangkatnya sebagai Al-Mahdi, Nabi, ia terkenal pada pengikut-pengikutnya sebagai Al Masih Al Mau’ud pula. Perihal dirinya sendiri, Mirza berkata :

“Saya keelokan yang elok dalam abad ini, barangsiapa meninggalkan saya, meninggalkan DIA yang mengutus saya. Lihatlah saya memegang lampu di tangan saya, maka barangsiapa datang padaku, akan memperoleh sebagian dari cahayaku dan barangsiapa memilih melarikan diri dari saya, karena ragu-ragu dan sak wasangka atau takhayul akan dilemparkan ke dalam kegelapan dan kebinasaan”. [53]

Kemudian tentang hakikat dirinya yang superior elok itu, Mirza berkata:
“Saya ini adalah baruz (titisan) Nabi Isa ‘Alaihis Salam karena saya diutus dalam roh dan kuasa beliau dan budi pekerti yang sama. Demikian pula saya menerima nama Muhammad Ahmad berdasarkan jabatan saya sebagai pembangun lagi daripada pelanggaran-pelanggaran kepada hukum Tuhan. Karena itu saya diutus buat mengembangkan ke-Esaan Allah dalam roh dan kuasa serta budi-pekerti yang bersamaan dengan nabi Muhammad. Dengan kemurahan Allah dan PengasihNya maka saya dijadikan ahli waris kedua gelaran itu dalam abad ini dan keduanya tergabung menjadi satu ternyata atas diri saya dan batin saya ini ialah pergabungan kedua nabi yang mulia itu” [54]

Pada suatu ketika yang tidak terduga-duga Mirza Ghulam berkata lagi tentang dirinya:
“Aku melihat dalam mimpi bahwa aku ini jadi Allah”.[55]

Dengan gabungan baruz Nabi Isa dan Nabi Muhammad serta sekaligus dalam mimpi Mirza Ghulam Ahmad telah jadi Allah, maka ahlak yang ia miliki tentu saja akhlak termulia. Ini cocok dengan kata-kata pujian dr.Meer dan ‘Mirza Mubarak Ahmad, bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang pengampun pada mereka yang bersalah, berbudi pekerti baik, rendah hati, suka memberi maaf, wajahnya selalu tersenyum, dimana dalam hidupku saya belum pernah melihat seorang seperti dia, lebih berbudi, lebih pemurah lebih berkasih sayang, dan seterusnya, dst.[(56]

Maka marilah meneliti bagaimana orang gila dari Qadian yang membual jadi Allah itu bertingkah laku ketika menghadapi kritikan-kritikan Muhammad Ismail Sahib dari Aligarh. Apa yang sebenarnya dikatakan tuduhan-tuduhan, fitnahan-fitnahan Ismail Sahib tidak lain hanyalah bantahan-bantahan yang sederhana saja. Ia katakan bahwa Mirza :

“Tidak tahu sastra, tidak percaya bahwa ia seorang yang telah dapat wahyu, tidak percaya bahwa buku-buku itu adalah karangan Mirza, dan Mirza mempunyai tenaga sihir serta menggunakan tenaga itu”.

Maka andaikata Mirza Ghulam Ahmad tidak membalas tuduhantuduhan atau fitnahan itu, hal mana itu adalah yang terbaik baginya. Bagi seorang yang memiliki dua roh kenabian dan sekaligus mimpi jadi Allah, hanya akan membuang waktu dan tenaga saja bila melayani obrolan Ismail Sahib itu.

Namun pada kenyataannya tidak demikian dengan nabi Qadian itu. Justru ia menjadi marah dan meradang. Ia berkata dengan seluruh emosinya :

“Maulvi Ismail Sahib telah tenggelam dalam kegelapan, tenggelam dalam keinginan yang mementingkan diri sendiri serta kesukaan yang sia-sia. Saya (Mirza Ghulam Ahmad) tidak menaruh penghargaan lebih besar dari pada terhadap cacing yang sudah mati. Tuan seorang yang dungu, ulama yang tidak cakap. Faham tuan sudah ketinggalan zaman. Tuan berada dalam kehinaan, tuan bertabi’at mencurigakan, fikiran jahat dan berbuat kejahatan, tuan terbawa dalam ketakhayulan, tuan tidak mempunyai pikiran sehat, tuan berputar lidah, tidak mengerti, keras hati dan congkak dan tak berbudi. Tuan seperti orang-orang munafik zaman Isa, tuan seperti Fir’aun, tuan seperti Abu Jahal, tuan pendusta, tuan kafir “. [57]

Sungguh kasihan Maulvi Ismail Sahib mendapat balasan yang demikian dari Mirza. Namun itu sudah seharusnya bahwa orang seperti Maulvi Ismail berani menyerang nabi Qadian itu. Balasannya kelihatan setimpal. Akan tetapi kalau ditilik kembali derajat

orang Qadian yang diserang Maulvi Sahib itu maka ada kejanggalan-kejanggalan yang menyolok dalam tingkah-lakunya pada waktu ia sudah menjadi Nabi, Al-Mahdi, Al Masih Al Mau’ud. Maka pada kedudukan yang ia miliki itu, sudah selayaknyalah jika ia merasa malu atas kata-kata yang telah ia lontarkan pada lawannya yang juga dikenal sebagai seorang muslim. Tidak ditemukan dalam sejarah “keagamaan” kiranya, seorang nabi yang membual menjadi Allah dengan seribu satu macam pangkat kemuliaan, betapapun ia dari desa, yang membalas kata-kata lawannya dengan kata-kata pedas serta mengutuk, bahkan mengkafirkan!

Maka gambaran apakah yang lebih terang tentang Mirza Ghulam Ahmad ini? Itu semua sudah sangat keterlaluan, jauh keluar melampaui sejarah orang-orang beradab dan berakal sehat jika menyamakan seorang pengumpat, penghina, pengutuk macam Mirza Ghulam Ahmad ini dengan pribadi Nabi Isa ‘Alaihis Salam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam. Apakah mereka telah rabun mata terhadap sejarah sepak-terjangnya yang berlebih-lebihan itu? Tidak, Ahmadiyah bahkan telah buta mata hatinya dan pekak telinganya.

Ismail Sahib sekadar mengatakan tentang nabi Qadian itu, bahwa ia tidak percaya, lalu datang balasan Mirza Ghulam Ahmad dengan kata-kata:
“Kamu tidak berbudi, kamu jahat, cacing mati lebih kuhargai daripadamu, kamu munafik, kamu pendusta, kamu kafir”.

Seorang yang mengaku Al Masih tidak layak berkata demikian. Justru kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad dan jemaatnya selalu kita temukan bentuk-bentuk kepalsuan dan penipuannya. Rombongan Musailamah modern ini masih banyak mempertontonkan kisah-kisah ajaib serta ketidak warasan logika pada mereka yang akan membuat mereka telanjang bulat di atas panggung sejarah Islam.

MIRZA RAJA KUMAN-KUMAN
Baru saja kita meninggalkan karakter Mirza yang emosional, maka teringatlah kembali betapa sang cucu memujinya dengan pujian-pujian yang luar biasa, antara lain Mirza Mubarak Ahmad memuji Mirza Ghulam Ahmad dengan karakter “Rahmat Mujassam” yakni rahmat untuk keluarga, rahmat untuk kawan, rahmat untuk tetangga, untuk musuh, untuk pembantu-pembantu peminta peminta dan rahmat untuk manusia. [58]

Apabila kita teringat akan peristiwa penyakit pes yang terjadi di daerah Punjab, maka rahmat untuk tetangga, rahmat untuk musuh dan rahmat untuk manusia yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad itu, akan menjadi suatu problema di sini. Peristiwa pes abad ke-sembilanbelas di Punjab itu, berkaitan dengan kedudukan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi Musa India. Ia memang memiliki semua kenabian terutama pada kenabian Muhammad, Isa, Musa dan Ibrahim. Sebagai nabi Musa abad ke-19 masehi dari India, Mirza Ghulam Ahmad ternyata memegang peranan yang sangat meyakinkan dalam peristiwa pes itu.

Peristiwanya berkisar pada wabah pes yang melanda daerah Punjab. Tiap hari banyak orang meninggal karena pes tersebut. Dan korban kematian selalu bertambah. Pada peristiwa yang sangat menyedihkan itu, demikian sang cucu bercerita, hazrat Maulvi Abdulkarim r.a. pernah mendengar do’a hazrat Masih Mau’ud waktu menyendiri tengah malam; dan dengan menyaksikan hal itu beliau sangat ta’jub. Hazrat Maulvi Abdulkarim berkata :

“Dalam do’a itu suara beliau demikian pedih dan penuh keharuan sehingga orang yang mendengarnyapun akan turut terharu pula. Beliau di hadapan Arasy Ilahi merintih-rintih

laksana seorang ibu merintih kesakitan ketika menghadapi saat bersalin. Ketika itu aku perhatikan, maka kedengaranlah do’a beliau itu memohonkan supaya ummat manusia dihindarkan dari adzab pes yang sedang berkecamuk itu. Beliau berulang- ulang berseru: “Ilahy, jikalau ummat manusia ini binasa semuanya oleh adzab pes, maka siapakah nanti yang akan menyembah Engkau”. [59]

Sungguh sangat mengharukan do’a Nabi Musa India itu. Do’anya persis do’a Muhammad s.a.w. ketika peperangan Badar akan dimulai. Sayangnya situasi yang melingkupi nabi dari India itu bukannya suasana peperangan melainkan penyakit. Yang kena wabah pes adalah daerah Punjab atau katakanlah negeri India; apakah kaum muslimin yang menyembah Allah Yang Maha Esa hanya orang-orang di India? Mirza Ghulam Ahmad, barangkali masih belum tahu bahwa semasa ia menjabat nabi-nabian itu, ummat Islam sudah berserak hampir sepertiga dari bumi selatan ini. Apakah do’anya juga tertuju pada mereka ataukah hanya khusus untuk orang Punjab, dan lebih khusus lagi pada pengikut-pengikutnya saja? Justru yang terakhir inilah tujuan dari do’a Mirza Ghulam. Ia hanya berdo’a untuk keselamatan pengikut-pengikutnya saja.

Kenyataannya memang demikian; dan satu hal yang menarik ialah konon tuhan Mirza mengabulkan permintaannya itu: Dengan melalui isyarat dalam mimpi Mirza Ghulam memperoleh hasil yang menggembirakan dari do’anya yang mengharukan itu. Adapun Mimpi Mirza Ghulam pada malam itu ialah:

“Ketika aku tidur aku bermimpi melihat seekor gajah yang luar biasa besarnya, ganas dan berjalan dengan sangat angkuhnya di atas permukaan bumi ini. Jelas bagiku, bahwa gajah itu adalah gambaran atau lambang dari wabah pes yang datang melanda serta menimbulkan korban kematian yang sangat besar. Akan tetapi kesudahan dari mimpiku itu ialah, bahwa sang gajah yang ganas itu tatkala mendekat padaku, tiba-tiba ia menjadi jinak, hormat dan dengan tawadhu’nya duduk bersimpuh di dekatku”. Demikian sesudah itu Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan makna atau ta’wil dari mimpinya itu serta diberitakan dengan luas, bahwa ia dan pengikut-pengikutnya akan selamat dari bencana pes itu” . [60]

Jelasnya, dari hal mimpi Mirza Ghulam itu bahwa kota Qadian hampir dikatakan selamat seluruhnya dari wabah pes, tidak seperti kota-kota lainnya. Lebih meyakinkan lagi akan makna mimpi Mirza ialah ketika Tuhan berkata:

“Ketahuilah, Allah tidak akan melibatkan penduduk yang tinggal di Qadian terkena wabah pes itu. Ini dikarenakan ditengah-tengah mereka ada dia. (yakni Mirza Ghulam Ah mad”. [61]

Demikian jelasnya tujuan do’a “Ilahy” yang diucapkan Mirza Ghulam Ahmad, bahwa hanya pengikut-pengikutnya sajalah yang akan diselamatkan. Bahkan tujuan lebih sempit dari doanya ialah bahwa yang akan selamat terkena wabah pes bukanlah daerah Qadian, melainkan hanya mereka yang berada di bawah naungan ruang atap rumah Mirza Ghulam Ahmad saja! [62] Maknanya siapa orang-orang yang berada di rumah Mirza Ghulam Ahmad, maka mereka selamat dari bencana pes itu.

Teringatlah kita akan sejarah Nabi Musa ‘Alaihis Salam “serupa” peristiwanya dengan peristiwa nabi Musa India itu. Benarkah bahwa hanya di rumah Mirza Ghulam Ahmad saja yang selamat dari pes?

“Sungguh ajaib, kata Ahmadiyah menceritakan, bahwa pes yang ganas itu tidak menyentuh rumah Mirza Ghulam Ahmad; dan semua orang Ahmadiyah yang tinggal di dalamnya aman selamat, padahal di sebelah menyebelah rumah Mirza, yakni para tetangganya, pes yang ganas itu masuk ke rumah-rumah mereka dan membinasakan penghuninya” [63]

Yang lebih ajaib lagi, demikian Bashiruddin Mahmud Ahmad menceriterakan: “bahwa tidak seekor tikuspun dalam rumah Mirza Ghulam Ahmad yang menderita pes itu, padahal justru tikus-tikus itulah yang lebih dahulu kena wabah itu. Kalau bukan malaikat yang menolong, Apatah lagi?” [64]

Sungguh suatu peristiwa yang paling ajaib, justru tikus-tikus dalam rumah Mirza Ghulam lebih berharga dari nyawa-nyawa manusia tetangganya. Apakah tikus-tikus itu masuk Ahmadiyah? Ataukah tuhannya menyelamatkan binatang-binatang itu dan membinasakan manusia-manusianya?!

Mirza Ghulam Ahmad dikabarkan berakhlak “khuluqin azhiim” juga seorang yang mempunyai jiwa “rahmat mujassam” yakni rahmat untuk tetangga, untuk musuh-musuhnya dan rahmat untuk manusia. Dimanakah itu semua?

Seharusnyalah kalau ia berdoa untuk keselamatan manusia dari pes itu, tidak sampai pada orang-orang yang tinggal di bawah atap rumahnya, melainkan sampai pada Qadian, Punjab bahkan seluruh India. Andaikata itu sudah ia lakukan dalam do’anya yang mengharukan tetapi tuhannya Ahmadiyah hanya memilih keselamatan pada orang-orang Ahmadiyah raja atau mereka yang tinggal di rumah Mirza, maka sekali lagi kita mengatakan, alangkah kejam tuhan Mirza, ia lebih sayang pada tikus kiranya.

Rupa-rupanya, balk tuhan Mtrza maupun Mirza Ghulam sendiri pada waktu pes melanda Punjab, kedua-duanya berada dalam sikap “angkara murka” terhadap manusia-manusia yang bukan Ahmadiyah. Ini lebih meyakinkan kita jika kemudian sesudah itu, kita melihat betapa Mirza Ghulam Ahmad telah menyemburkan kata-kata yang paling menegakkan bulu roma pada saat-saat terjadinya kematian orang-orang karena wabah pes. Sejarah memaklumi bahwa Nabi Musa ‘Alaihis Salam memiliki sebuah tongkat mu’jizat yang sanggup mengalahkan ahli-ahli sihir istana Fir’aun. Akan tetapi tidak demikian dengan nabi Musa India Mirza Ghulam Ahmad ini. Ia tidak mewarisi tongkat mu’jizat, akan tetapi. ia memiliki sesuatu mu’jizat yang paling hebat. Apa yang tidak terduga-duga kiranya telah terjadi. Mirza Ghulam Ahmad memiliki senjata yang paling ampuh untuk membinasakan lawan-lawannya.

Apakah senjata ampuh milik Mirza Ghulam Ahmad itu? Tidak lain senjatanya adalah “kuman-kuman pes”. Hal ini ia kabarkan, tatkala wabah pes itu hebat-hebatnya mengganas dan membinasakan. Mirza Ghulam Ahmad secara drastis lagi angktih berkata:

“Ketahuilah! secara diam-diam aku tengah membangkitkan bala-tentara kuman-kuman pes untuk menghancur-leburkan mereka. Karena itu mereka yang memusuhiku akan terkapar mampus di rumah-rumah mereka seperti binasanya onta-onta” [65]

Nah, Mirza Ghulam Ahmad, nabi Musa India abad 19 masehi, si Raja Kuman Pes, siapakah gerangan yang berani memusuhinya?

MIRZA TARTUFFE [x]
[x] Tartuffe ialah seorang munafik, penipu besar.

Karakter Mirza Ghulam Ahmad yang berperan sebagai Nabi, Al Masih Al Mau’ud, Yesus, Musa, bahkan Allah (semoga Allah membalas kedustaan-kedustaan yang jauh melampaui batas ini dengan balasan yang setimpal, amin) gagal total, ia sebagai pencaci maki, penghina, pengutuk, pengkafir maupun sebagai penyebar kuman kematian pada sesama manusia telah membawa effek pada tingkah lakunya, pada fisiknya dan pada jiwanya. Atau mungkin keadaan jiwa dan fisiknya yang membawa efek pada karakternya yang tidak karuan itu. Kedua-duanya dari kemungkinan itu pasti terjadi pada diri Mirza Ghulam Ahmad, sebab ia termasuk dari contoh figur kemunafikan dan kepalsuan dalam sejarah kerohanian, yang berkedok sebagai nabi maupun sebagai Al Masih A1 Mau’ud.

Ahmadiyah dalam rangka mengangkat Mirza Ghulam ke tongkat derajat yang paling atas menyatakan bahwa maksud kedatangannya ialah untuk memikul misi suci yang lebih dahulu telah diwahyukan Allah dalam Al Qur’an. Kedatangan Mirza Ghulam oleh Ahmadiyah digambarkan sebagai cahaya fajar sang surya. la datang dalam lailatul qadr, malam utama yang lebih balk dari pada 1000 bukan. [66]

Ahmadiyah menegaskan dengan kata-kata:
“Tegas pengakhiran malam itu dengan saat fajar pembawa cahaya sang surya yang menerangi bumi. Cahaya inilah dibawa oleh Al Masih kedua atau Imam Mandi”. [67]

Ummat manusia seharusnya mengelu-elukan kedatangan cahaya fajar Mirza Ghulam Ahmad itu, sebab ia datang untuk kebangkitan Islam dan meletakkan Islam sebagai agama tertinggi. Ketahuilah! kata Ahmadiyah, bahwa:

‘’Pada surah At Taubah ayat 33 dan surah Al Fath ayat 29 kemudian surah Ash Shaf ayat 9, tersebut firman Tuhan yang berbunyi: DIA-lah yang mengutus utusannya_dengan petunjuk dan Agama yang benar yang akan memenangkannya atas semua agama”.

Ketiga ayat tersebut di atas, kata Ahmadiyah, mengandung berita yang belum disempurnakan. Maksud Ahmadiyah belum disempurnakan itu ialah bahwa agama Islam belum mengatasi agama-agama lain dan ummat Islam juga belum mengatasi (melebihi dari segi apapun) ummat-ummat agama yang lain. [68]

Maka, kata Ahmadiyah melanjutkan, menurut para ahli dan mufassirin bahwa ayat di atas akan disempurnakan di akhir zaman bilamana tokoh yang dijanjikan itu datang. Dalam tafsir Al Bayan di bawah ayat tadi dicatat tafsir yang berikut : “wa dzalika inda nuzuli Isa ibn Maryam”. yaitu: kemenangan Islam atas semua agama yang dimaksud ayat tadi ialah akan terjadi bila turun Isa anak Maryam. [69]

Lebih meyakinkan lagi Ahmadiyah menegaskan, bahwa Islam bukan hanya belum sampai pada titik yang dinubuwatkan di atas malah agama-agama lain masih memiliki supremasi atas Islam sendiri. [70] Kemudian Ahmadiyah berkata:

“Nubuwat Al Qur’an tersebut di atas pasti genap dan sempurna pada akhir zaman di tangan UtusanNya yang dikenal dengan sebutan Isa Masih/Imam Mahdi a.s”. [71]

Demikianlah penegasan Ahmadiyah. Mula-mula dikatakan bahwa ayat itu mengandung berita yang belum disempurnakan, padahal Islam telah ditegakkan dengan sempurna. Jika memang ayat itu mengandung berita yang belum disempurnakan, maka bukan

mufassirinlah yang tahu makna maupun tafsir dari ayat itu melainkan Rasulullah sendiri adalah orang pertama yang akan mengatakannya.

Kemudian Ahmadiyah mengatakan, bahwa Islam belumn mengatasi agama-agama yang lain. Artinya bahwa Islam masih berada pada tempat paling bawah dari semua agama di dunia. Kalau ummat Islam yang dikatakan masih belum mengatasi ummat agama yang lain, mungkin ada benarnya terutama pada segi-segi sosial ekonominya. Akan tetapi kalau Islam dikatakan masih belum mengatasi agama-agama yang lain, itu sudah merupakan bentuk pelecehaan yang sangat sangat menghinakan, sangat sangat keterlaluan. Ataukah jumlah orangnya yang masih belum mengatasi, padahal pada abad ke-19 Masehi Islam penganutnya sudah melebihi penganut agama Zarathustra dan penganut agama Yahudi, dan daerah wilayahnya lebih besar dari wilayah agama-agama itu bahkan lebih luas lagi dari wilayah agama Buddha dan agama Hindu.

Maka jelaslah yang dimaksud Ahmadiyah bahwa Islam belum mengatasi agama-agama yang lain mengandung makna hakikat dari Islam itu sendiri, yang belum mengatasinya. Ini bukan saja suatu pengingkaran terhadap sejarah perjuangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahkan juga pengingkaran terhadap kandungan ayat Al Quran.

Lebih lantang lagi Ahmadiyah berkata tentang ayat 33 dari surah At Taubah, Al Fath ayat 29 dan Ash Shaf ayat 9 itu sebagai berikut :
“Tetapi tampaknya Tuhan belum menghendaki” liyuzhhirahu ‘aladdini kullihi” (memenangkan Islam atas semua agama) itu terjadi pada masa perkembangan Islam yang pertama. Oleh karena di dalam ayat yang sama kalimat-kalimat lanjutan melukiskan bentuk dan corak perkembangan Islam masa yang kedua yang akan mencapai garis kemenangan atas semua agama yang ditentukan itu”. [72]

Jelasnya bahwa Allah (di sisi aqidah rusak dan sesat Ahmadiyah) belum menghendaki kemenangan Islam terjadi pada masa perjuangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat beliau, melainkan akan terjadi kemenangan itu pada masa Al Masih Al Mau’ud Mirza Ghulam Ahmad! Kata-kata “belum menghendaki” yang ditekankan oleh Ahmadiyah itu pastilah merupakan bentuk menyakiti Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta sahabat beliau. Makna dan pengorbanan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diabaikan dan disepelekan oleh Ahmadiyah. Suatu penghinaan yang mengandung tujuan dan target yang keji untuk membuyarkan iman ummat Islam serta perasaan kecintaan pada Nabinya.

Akan tetapi Ahmadiyah tetaplah Ahmadiyah, ia telah mengatakan sesuatu, namun di tempat yang lain ia terperosok sendiri oleh kata-katanya itu. Kalau kita melihat betapa kedatangan Mirza Ghulam Ahmad telah dinyatakan sebagai tokoh Al Masih anak Maryam/Al Mahdi yang akan memenangkan Islam atas semua agama, demikian yang dikatakan Ahmadiyah, anehnya pada tempat yang lain Ahmadiyah mengganti peranan sukses gemilang yang dicapai nabi India itu dengan seorang tokoh yang lain yang datang sesudahnya. Orang Ahmadiyah terakhir inilah sebenarnya yang akan memenangkan Islam atas semua agama? Ahmadiyah berkata:

“Kesempurnaan ayat liyuzhhirahu aladdini kullihi yaitu Islam akan menaklukkan semua agama, yang khusus akan dilaksanakan oleh Imam Mahdi atau Al Masih, insya Allah akan tercapai di tangan khalifah Masih ke-II hazrat Basiruddin Mahmud Ahmad, al Muslihil Mau’ud putra yang dijanjikan”.[73]

Kata-kata “insya Allah akan tercapai” merupakan isyarat nyata yang menunjukkan betapa peran Mirza Ghulam Ahmad pada pertengahan dan akhir-akhir dari hidupnya sangat menyedihkan dan mengalami depressi yang memalukan. Seyogyanya kalau Ahmadiyah segera melakukan tindakan emergency untuk menyelamatkan organisasi Musailamah Modernnya dengan cepat-cepat mengangkat Paulus Ahmadiyah untuk bertahan dari keruntuhannya. Hanya dengan organisasi dan finansiil yang padat serta lindungan maupun naungan yang rindang, maka Bashiruddin Mahmud Ahmad benar-benar seorang “Paulus” Ahmadiyah demi menutupi dan mengoper semua gelar-gelar yang terlanjur dipasang di pundak bapaknya. Itulah sebabnya Ahmadiyah memberikan titel yang luar biasa pada sang khalifah itu. Justru dialah yang paling ketat menutupi seluruh aspek kehidupan ayahnya yang berantakan. Namun anehnya tidak satu segipun dari kehidupan Mirza Ghulam Ahmad yang hancur itu dapat tertutup rapat. Tidak juga sang putra maupun organisasinya berhasil menyembunyikan nabi penyebar kuman kematian itu.

Tadi telah dikatakan bahwa dikarenakan tugasnya yang berat, yakni tugas menjadi nabi palsu di India, maka Mirza Ghulam Ahmad mengalami depressi hidup yang memalukan serta memilukan hati. Namun demikian juga tidak bisa diabaikan, sebagaimana dikatakan sebelum ini, bahwa karena efek-efek kejiwaan dan badaniahlah, maka Mirza Ghulam Ahmad gagal total dalam hidupnya.

Entah karena jabatannya sebagai Musailamah Modern telah membuatkan tertekan dan menderita, baik jiwa maupun badannya. Ataukah ia memang sudah mengalami masa menderita yang begitu lama dan parah sehingga timbul gagasannya untuk menjadi pemimpi kerohanian, yang tidak pernah diharapkan bangsanya. Kenyataannya, kedua-duanya memang ada dan benar. Atau justru ini merupakan adzab kehinaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang jauh melampaui batas melakukan penghinaan Islam, Al Qur’an dan Sunnah Nabinya, suatu adzab yang disegerakan janjiNya di dunia sebelum diadzab lebih dahsyat di akhirat kelak. Nas’alullahas salamah wal ‘afiah.

Perkenalan atas perjalanan hidupnya sudah banyak kita ketahui, akan tetapi Ahmadiyah sendiri maupun sang khalifah Bashiruddin masih dengan senang hati menambah lagi sajian-sajian tarian telanjang sejarah tentang Mirza Ghulam Ahmad. Tentu saja sajian-sajian yang sekaligus menikam langsung dada sang nabi palsu itu. Maka inilah dia sajian-sajian yang berakhir dengan klimaks yang menggelikan akan tetapi sangat menyayat-nyayat hati.

JERITAN GOLGOTTA TERULANG
Kali ini Mirza Ghulam Ahmad menjabat sebagai nabi Ibrahim India dengan mu’jizat yang terkenal, memadamkan api. Ia sendiri dengan bangga berkata:

“Zaman Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam sudah lampau. Aku atas perintah Allah Ta’ala mewakili beliau di abad ini. Boleh lihat kalau ada musuh yang mencampakkan aku ke dalam api, dengan karunia Allah Ta’ala api itu akan menjadi dingin untukku”. [74]

Kemudian tuhan Mirza menyatakan padanya :
“Aku selalu menjaga keselamatanmu dan memerintahkan: wahai api (mereka yang menentangmu) dinginlah engkau pada Ibrahim ini dan damailah padanya” . [75]

Demikian jaminan tuhannya pada Mirza Ghulam Ahmad sebagai Ibrahim abad 19 masehi.

Pada suatu hari nabi Ibrahim India ini telah memperaktekkan mu’jizatnya dengan hasil yang cukup memuaskan. Diceritakan oleh cucunya, Mirza Mubarak Ahmad, bagaimana kakeknya Ibrahim Mirza Al Mogholi itu telah berhasil menyembuhkan penyakit TBC

seorang pemuda yang hampir mati. Ceritanya begini, kata si cucu :
“Pada sekali peristiwa Lala Malawamal ini diserang penyakit TBC; keadaannya sangat payah, bahkan tidak ada harapan lama-sekali. Pada suatu hari ia menghadap Hazrat Masih Mau’ud Mirza Ghulam Ahmad dan menceritakan penyakitnya sambil menangis-nangis tersedu-sedu. Ia minta dengan kerendahan hati agar hazrat Mau’ud mendoakannya. Pemuda Malawamal itu seorang musuh Islam juga tetapi hatinya mengakui kesucian beliau a.s. Melihat keadaan Malawamal demikian beliau merasa kasihan dan terus mendo`akannya dengan tawajuh yang khusus, sehingga turun kepada beliau ilham: “qul ya naaru kuni bardan wa salaaman”. [76]

Ilham tersebut oleh Ahmadiyah diterjemahkan menjadi: “Wahai api penyakit, dinginlah engkau bagi anak muda ini, jadilah engkau sebagai penjaga dan keselamatan baginya”.[77]

Karena ilham itulah maka pemuda Malawamal menjadi sembuh. Bahkan menurut Ahmadiyah ia mencapai usia 100 tahun.

Sungguh suatu surprise bahwa hanya dengan do’a semata-mata, penyakit TBC yang hampir merenggut nyawa anak muda itu dapat dilenyapkan oleh Mirza. Padahal jika sejarah memperhatikan jalan hidup Mirza Ghulam Ahmad, akan diketahui secara menyolok bahwa sang penyembuh Mirza itu sendiri ternyata tidak pernah sembuh dari sakit. Bahkan kematian yang merenggut Mirza Ghulam Ahmad dikarenakan ia menderita sakit berak-berak yang kronis (diarhoea).

Latar-belakang kehidupannya merupakan rangkaian dari penyakit-penyakit berat yang menahun sehingga meruntuhkan seluruh kekuatan tubuh maupun jiwanya. Ia ternyata mengidap penyakit penyakit “diabetes” dan “vertigo” di mana kedua penyakit itu benar-benar menerkam hidup Mirza sepanjang hayatnya. Mengapa tidak disembuhkan penyakit-penyakitnya itu oleh dokter pribadinya Nuruddin sang Khalifah? Mungkin obatnya tidak ada atau mungkin karena jabatan-jabatan Mirza yang kelewat batas itu membawa efek-efek yang berat bagi penyembuhannya.

Kedua kemungkinan itu ternyata tidak dibenarkan oleh Ahmadiyah baik oleh anaknya, cucunya maupun oleh pengikut-pengikutnya. Mereka mempunyai alasan kuat mengapa penyakit-penyakit Mirza Ghulam itu tidak sampai disembuhkan. Mereka tidak kehilangan langkah untuk membela situasi “gawat” nabinya. Bashiruddin Mahmud Ahmad berkata membela ayahnya:

“Penyakit-penyakit yang diderita Mirza Ghulam Ahmad itu sudah termaktub, artinya bahwa Al-Masih Al Mauud akan menderita dua-penyakit. Separoh dari bagian tubuhnya ke bawah mengidap penyakit diabetes dan separoh dari bagian tubuhnya ke atas mengidap penyakit vertigo”. [78]

Demikianlah penyakit-penyakit itu sudah termaktub sebagai hiasan hidup Al Masih Mirza Ghulam Ahmad Qadiani. Jadi sudah takdir baginya untuk menerima penyakit-penyakit itu. Usaha-usaha untuk menyembuhkannya hanya akan menentang takdir Allah saja. Bukankah Mirza Ghulam Ahmad pada saat-saat itu sedang memangku jabatan Nabi Ayyub ‘Alaihis Salam? Bedanya, Nabi Ayyub ‘Alaihis Salam tidak terkena diabetes dan vertigo. Dan Mirza Ghulam “sanggup” untuk mengemban jabatan Nabi Ayub. Ya, sanggup untuk mempertontonkan seluruh karier nabi gadungannya menjadi berantakan.

Mirza Ghulam Ahmad sebenarnya sangat menderita karena penyakit-penyakitnya itu. Rasanya ia tidak bisa menerima kalau penyakit-penyakitnya itu adalah takdir Allah yang harus ia rasakan sepanjang hidupnya. Jangankan dengan diabetes dan vertigo, dengan sakit-sakitan yang sangat tidak berarti saja, Mirza Ghulam Ahmad sudah mengeluh merana. Buktinya pada suatu hari Mirza Ghulam pada salah satu jari tangannya sakit, mungkin bengkak nanah (cantengan) atau kena sayat pisau. Ia sudah mengaduh-aduh dan tidurnya tidak nyenyak lagi [79].

Dalam keadaan sakit yang demikian ”hebat” itu ternyata tuhannya menaruh rasa kasihan pada Mirza. Bagaimana sembuhnya? Cukup dengan kabar wahyu dari Tuhan:

“Sejuklah tanganmu wahai Mirza dan rilekslah engkau”. [80]

Maka dengan wahyu Tuhan di atas sakit jari Mirza Ghulam ternyata sembuh sama sekali. Sungguh enak baginya bahwa hanya dengan wahyu saja ia segar kembali.

Pernah pada suatu hari Mirza Ghulam Ahmad terkena sakit demam. Inipun Tuhannya sangat menaruh kasih padanya. Maka turunlah kabar wahyu padanya :

“Assalamu alaikum wahai Mirza, semoga damai engkau serta panjang umur”. [81]
Dengan wahyu itupun Mirza Ghulam sembuh dari sakit demamnya.

Kita ingin bertanya, jika dengan penderitaan “sakit salah satu jarinya “dan” sakit demam” saja Mirza Ghulam Ahmad sudah mengeluh merana, maka bagaimana dengan sakit-sakit beratnya itu? Ahmadiyah dalam hal ini tidak pernah mempertontonkan penderitaan nabinya karena penyakit-penyakit diabetes dan vertigonya.

Mereka tidak mau bicara tentang itu. Akan tetapi ilmu pengetahuan tentang kesehatan mau dan bisa berbicara tentang pasien yang menderita penyakit gula (diabetes) dan sakit bingung (vertigo) itu. Ensiklopedi kesehatan mengatakan bahwa penderita sakit gula dalam beberapa hal dan keadaan mengalami : kebingungan serta mudah tersinggung hatinya tanpa ada sebab; sakit pada bagian saraf kepala, radang saraf; kerabunan pada mata, sangat sayu pandangannya, akhirnya sering tak sadarkan diri. [82]

Adapun pada penderita sakit bingung (vertigo) dalam beberapa hal dan keadaan mengalami : tingkah laku yang abnormal, gejolak emosi meluap-luap, depressi yang memilukan, perasaan rendah diri, “jeritan putus-asa”, bahkan sering jatuh pingsan. [83]

Mirza Ghulam Ahmad dengan diagnosa sebagai “pasien penderita sakit gula dan sakit bingung” yang diakui dan dinyatakan sendiri oleh Ahmadiyah serta oleh puteranya Bashiruddin Mahmud Ahmad, [84] dengan sendirinya mengalami komplikasi-komplikasi di atas yang sangat parah. Bahkan sialnya ia mengidap penyakit-periyakit itu secara kontinyu. Bagaimana dalam keadaan yang parah itu ia bisa mengimbangi ambisinya yang meluap-luap? Tentu saja ia berbuat, bertingkah, berpose sebagai tokoh yang abnormal. Gagal dalam cinta, gagal dalam karier, gagal dalam akhlak dan gagal menjaga stamina tubuh serta jiwanya.

Bashiruddin Mahmud Ahmad khalifah kedua Ahmadiyah, putera penerus Mirza Ghulam Ahmad berkata tentang ayahnya yang bergelar Nabi, Rasul, al Mahdi dan al Masih yang dijanjikan itu : “Keadaan kesehatan badannya Hazrat Masih Mau’ud a.s. ada begitu lemah, sampai sering ketika penyakit datang kepada orang-orang yang di sekitarnya menganggap bahwa beliau telah wafat”. [85]

Dengan anggapan bahwa beliau telah wafat, sebenarnya Mirza Ghulam Ahmad telah jatuh pingsan yang lama. Pandangan matanya akan sayu bahkan redup menyusul keadaan tak sadarkan diri. Mungkin dalam situasi di alam tak sadar itulah Mirza Ghulam mencetuskan segala gagasan-gagasannya yang bernama: Ahmadiyah. Ia sering mengalami halusinasi; justru pada saat-saat itulah lahir segala tingkah laku yang abnormal. Bagaimana dengan “jeritan putus asanya” yang histeris itu? Sungguh tidak terlintas dalam pikiran bahwa sejarah mengulangi dirinya. Pada peristiwa GOLGOTTA kurang lebih 1800 tahun yang lalu, “konon” terdengarlah jeritan Yesus Kristus mengakhiri hayatnya pada kayu salib [86]. Jeritan itulah yang terulang pada sejarah hidup nabi India abad 19 masehi.

Jauh dari Jerusalem menuju ke timur melewati gurun, gunung dan padang rumput, melalui negeri-negeri Mesopotamia, Persia, Afghanistan, menerobos lembah subur Kashmir, singgah di Srinagar kemudian masuk ke Anak benua India, menuju ke Propinsi Punjab langsung ke distrik Gurdaspur dan berakhir pada sebuah desa bernama QADIAN, di situlah muncul seorang laki-laki bernama MIRZA GHULAM AHMAD, mengaku sebagai Nabi dan Rasul, Al Mahdi dan Al Masih yang dijanjikan. Entah karena apa, entah dalam keadaan bagaimana, pada suatu saat yang menegangkan, tiba-tiba tersembur dari mulut Mirza Ghulam Ahmad rintihan suara histeris:

“ELI, ELI LAMA SABACHTANI” (TUHANKU, TUHANKU,
MENGAPA ENGKAU TINGGALKAN AKU” [87]
Persis sama dengan suara rintihan Jesus Nazareth di lembah Golgotta, bahkan dalam bahasa yang sama, bahasa: I b r a n i!

ltulah tokoh Qadian Mirza Ghulam Ahmad, apa sebab ia menjerit dengan bahasa Ibrani pula?! Sebuah jeritan yang menyayat kaki, puncak manifestasi keputusasaan dari pertolongan tuhannya yang selama ini memberikan wahyu-wahyu ilham kepadanya. Fatal, frustasi, gagal total, ataukah ia juga dipaku salib oleh penyakit-penyakitnya yang berat itu?!

MIRZA BERJUMPA “TUHANNYA”
Bukanlah yang kami maksudkan “Berjumpa Tuhannya” adalah Mirza mati, karena masih harus kita tuntaskan perjalanan tragis dari nabi palsu India yang satu ini. Mungkin dikarenakan gagal memperoleh balasan cintanya pada dara ayu Muhammadi Begum, mungkin kuga karena gagal menyembunyikan perangai-perangainya yang buruk dan kejam, mungkin juga dikarenakan gagal melaksanakan tugasnya sebagai nabi palsu, atau mungkin dikarenakan gagal memelihara kondisi tubuhnya maupun jiwanya, atau last but not least dikarenakan jeritannya yang pilu di lembah Golgotta Qadian itu, maka orang ini yakni Jesus Kristus dari India Mirza Ghulam Ahmad, mendapat simpati dan belas kasih dari BAPAKNYA di sorga untuk istirahat serta mendapat cuti.

Mirza Ghulam Ahmad tidak cuti ke Srinagar Kashmir menziarahi Jesus Kristus Israeli atau cuti ke London menghadap tuannya British, melainkan ia cuti naik ke atas, ke langit ketujuh terus lagi ke Sidratul Muntaha, terus lagi dan terus lagi sampai ke tempat dimana tuhan Bapanya bertahta. Tentu saja kisah cuti berlibur Mirza Ghulam Ahmad itu adalah kisah “Mi’raj”nya yang paling hebat, lebih hebat daripada, seandainya ia sanggup mengeringkan lautan India. Inilah dia jalan cerita “mi’raj” Mirza Ghulam Ahmad:

Kisah tentang “Tetes-tetes Merah” [88]
“Waktu itu musim panas bulan Mei atau Juni 1884, ketika Hazrat Ahmad selesai sembahyang subuh pada suatu pagi menyingkir ke sebuah kamar sebelah timur dari masjid Mubarak. Tempat itu sejuk disebabkan tembok-temboknya baru dilepa (diplester). Beliau membaringkan diri di atas sebuah carpai (semacam balai-balai tempat tidur dengan alasnya tali yang dianyamkan pada bingkainya) yang beliau biasa sediakan di sana. Carpai itu tak berlapik atau berbantal. Beliau berbaring menghadap ke utara dengan kepala ke arah barat. Lengannya yang sebelah dijadikan sebagai bantal dan lengan yang satu beristirahat di atas kepala.

Maulvi Abdullah Sanauri mulai memijati kaki beliau sebagaimana lumrahnya orang timur untuk memperlihatkan rasa hormat dan bakti; dan beliau ini mengatakan bahwa waktu itu ialah hari Jum’at, hari ke 27 bulan Ramadhan.

Beliau tengah menekuri dan merasa-rasakan akan besarnya nikmat yang melimpah atas diri beliau, tiba-tiba sekujur badan Hazrat Ahmad sekonyong-konyong menggigil. Hazrat Ahmad menoleh kepada Maulvi Abdullah Sanauri yang dapat melihat bahwa kedua belah mata hazrat Ahmad berlinang-linang.

Beberapa saat sesudah itu beliau melihat setetes cairan berwarna merah di atas salah satu kaki hazrat Ahmad, di dekat mata kaki, dan nampaknya baru saja saat itu menetes.

“Saya raba dengan satu tangan kanan saya, “kata beliau, dan kemudian saya menciumnya, tetapi tidak ada baunya. Kemudian saya perhatikan ada lagi tetes besar di kemeja beliau di betulan rusuk beliau. Tetes itu juga masih baru. Saya berdiri perlahan-lahan dan melihat ke sekitar kamar untuk menyelidiki sumber atau sebab dari pada tetes-tetes itu. Kamar itu ukurannya kecil berlangit rendah, dan saya selidiki dengan cermat tiap sudut supaya saya merasa puas tetapi tidak nampak sesuatu jejak yang kiranya dapat menjadi sebab adanya tetes-tetes merah itu.

Oleh karena itu saya duduk lagi di atas carpai dan mulai memijit-mijit kaki Hazrat Ahmad. Beberapa detik kemudian beliau bangkit lalu keluar dari kamar dan duduk di masjid. Saya mengikuti ke sana dan duduklah saya di belakang beliau untuk memijit pundak beliau. Lalu saya bertanya pada beliau tentang tetes-tetes itu. Beliau menjawab dengan acuh tak acuh, tetapi saya bertanya lagi atas pertanyaan itu beliau kembali bertanya, bahwa tetes-tetes apa yang saya maksudkan. Saya menunjuk pada tetes yang melekat di kemeja beliau.

Beliau melihatnya dan kemudian menerangkan kepada saya dengan beberapa tamsil akan gejala-gejala suatu kashaf dengan mana beberapa hal yang nampak dalam pandangan ghaib, benar-benar terwujud ke dalam alam fisika. Apa yang telah terjadi dituturkan oleh Hazrat Ahmad sebagai berikut:

“Di dalam kashaf dalam keadaan bangun, nampak padaku suatu gedung yang anggun lagi indah. Di dalamnya ada sebuah sofa yang di atasnya duduk seseorang yang berkepribadian hebat.’ Dia adalah TUHAN sendiri. Pikiranku merasa seolah-olah aku menjadi seorang petugas di dewan Ilahi. Aku telah menuliskan dekrit-dekrit tertentu yang kupersembahkan di hadapan YANG MAHA KUASA untuk di tandatanganiNya. Aku diajakNya duduk di atas sofa itu dengan rasa kasih dan sayang yang mendalam seperti seorang ayah.

Kemudian IA mencelupkan tangkai pena-NYA ke tempat tinta, digoyangkanNYA sedikit, dan kemudian menandatangani dokumen-dokumen itu. Tetes-tetes merah yang kau lihat adalah dia itu yang jatuh dari tanganNYA tatkala IA menggoyangkan NYA”.

Kemudian.Hazrat Ahmad meminta kepada Maulvi Sanauri untu melihat apakah barangkali ada tetes-tetes yang jatuh pada bajunya dan alangkah gembiranya beliau ketika dilihatnya bahwa satu tetes terdapat pula pada kopiyah beliau sendiri.

Maulvi Sanauri Abdullah sangat tergerak hatinya dan terkesan oleh gejala yang ajaib itu, dan karena beliau merupakan saksi dari tindakan kecil dari penciptaan Ilahi, beliau meminta kepada hazrat Ahmad untuk memberikan kemeja yang dibekasi oleh tetes-tetes merah itu.

Hazrat Ahmad yang mempunyai roh seperti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agak segan dan ragu-ragu, takut kalau-kalau di kemudian hari para pengikut beliau akan memuja-muja kemeja itu akan tetapi ketika Maulvi Sanauri mendesaknya juga, akhirnya Hazrat Ahmad memberikannya kepada beliau dengan satu syarat, bahwa kemeja itu harus dipendam bersama beliau apabila beliau meninggal dunia.

Maulvi Abdullah Sanauri ketika itu berusia duapuluh tahun. Beliau datang ke Qadian dua tahun sebelum itu. Beliau tetap sebagai seorang sahabat imam Mahdi yang setia sampai akhir hayat beliau. Beliau pulang ke rahmatullah pada hari Jum’at tanggal 7 Oktober 1927. Beliau dikebumikan dengan mengenakan kemeja peringatan yang dibekasi tetesan tinta kudus itu yang beliau bawa serta selama-lamanya ke mana-mana, siang malam selama 43 tahun lamanya. Beliau tidak pernah bercerai dari kemeja itu. Kemeja itu merupakan suatu tanda yang murni dari Tuhan dan suatu hadiah yang berharga yang seorang manusia yang mendapatnya dari atas. Beliau simpan benda pusaka itu baik-baik di dalam sebuah peti kayu yang khusus dibuat untuk itu, yang sebelah atasnya dipakaikan kaca, dan kemeja itu dilihatnya sedemikian rupa hingga tetes-tetes merah itu dapat terlihat.

Atas perintah dari Hazrat Khalifatul Masih II (Khalifah II meninggal tahun 1965) beliau suka mempertunjukkan kemeja itu kepada orang-orang sehingga saksi-saksi dari pertanda Ilahi itu mungkin sudah berjumlah ribuan orang banyaknya. Diantara saksi-saksi itu dapat disebutkan bapak Maulvi Zaini Dahlan, bapak Maulvi Abubakar Ayyub H.A, bapak Maulvi Ahmad Nurdin dan lain-lain dari Indonesia yang sedang belajar di Qadian pada waktu itu. Acapkali beliau memandangnya dengan air mata menggenangi kedua mata beliau karena dirangsang oleh perasaan suka dan duka. Muka beliau akan menjadi bersinar-sinar layaknya sewaktu memandangi benda hadiah yang amat berharga itu dan tiba-tiba saja akan berubah menjadi lesu dan sayu, karena kenangan beliau sampai kepada seorang yang beliau cinta dan khidmati setiap detik seumur hidup beliau”. [89]

Demikianlah cerita kejadian yang unik tentang tetes-tetes merah itu. Suatu peristiwa yang merupakan saksi dari tindakan kecil, kata Ahmadiyah, dari penciptaan Ilahi. Suatu tindakan kecil dari Allah? Amboi, itu adalah sebaliknya; Itu adalah suatu peristiwa besar, peristiwa hebat, sangat hebat. Itu adalah kisah mi’raj nabi dari India, kisah pertemuan mesra dengan tuhannya, kisah pertemuan anak dengan Bapanya, kisah penanda-tanganan dekrit, kisah sang nabi dengan dokumen bertanda-tangan TUHAN. Itu adalah kisah jatuhnya tinta Tuhan ke dunia, kisah pemberian hadiah orisinil dari atas, kisah ribuan mata saksi-saksi dari kemeja sang nabi yang kena tinta merah Tuhannya.

Bahkan itu semuanya adalah kejadian yang terhebat yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban ummat manusia. Maka ketahuilah, inilah bukti yang tidak bisa dibantah oleh seorangpun dari pengikut-pengikut Mirza Ghulam Ahmad. Setiap Ahmadiyah harus meyakininya.

Menanggapi kisah tetes-tetes merah dan kisah mi’raj nabi palsu Qadian, baik dari segi alam spirituil yang mempunyai hukum-hukum tersendiri, maupun dilihat dari segi dimensi lain yang “tidak tertangkap” oleh sembarang orang, maka tidak seorang berakal sehatpun yang akan percaya pada peristiwa yang dialami Mirza Ghulam. Lebih-lebih lagi orang beriman tauhid akan mencampakkan cerita dari Ahmadiyah itu ke keranjang sampah.

Itu adalah suatu kejenakaan dan sekaligus kegilaan! Peristiwa itu lebih “seronok” daripada peristiwa Isa ‘Alaihis Salam yang diangkat oleh kaum Kristen sebagai anak Tuhan sekaligus sebagai tuhan Yesus. Manusia normal manakah yang akan mempercayai cerita Mirza Ghulam Ahmad itu? Ini adalah kebatilan-kebatilan yang sengaja disusukan oleh Iblis dan balatentaranya untuk mengobrak-abrik iman aqidah Islam atas nama Islam itu sendiri!

Mirza Ghulam Ahmad telah menjadi arsitek tuhannya, melihat tuhannya sebagai “Seseorang yang berpribadian hebat, sedang duduk di atas sofa dalam suatu gedung yang anggun lagi indah” kemudian Mirza mengajukan dokumen dan tuhannya menandatanganinya, dengan mencelupkan dahulu tangkai penanya yang kemudian di-goyangkanNYA dan karena goyangan itu maka beberapa tetes telah jatuh ke dunia, di India-Punjab-Gundaspur-Qadian, tepatnya di dalam bilik Mirza Ghulam Ahmad dan langsung kena kaki, kemeja dan kopiyah sang nabi itu.

Mirza Ghulam Ahmad telah menunjukkan bukti dari pengalamannya, dan kebetulan sekali kita semua menghendaki bukti. Akan tetapi sayang sekali kita tidak mendapat barang bukti “tetes-tetes merah” itu sebagai bahan bukti, sebab Maulvi Sanauri Abdullah lekas mati. Lebih sayang lagi barang bukti kemeja yang kena tinta tuhan itu dibawanya ke liang kubur. Sehingga laboratorium tidak mungkin lagi dapat meneliti tinta Tuhan itu untuk dijadikan bukti.

Akan tetapi kiranya dapat dijadikan suatu jaminan bahwa tetes-tetes merah alias tinta Tuhan itu tetap terpelihara di dalam tanah, baik warna maupun zatnya. Bukankah itu tinta Tuhan?

Warna itu sendiri, ah sayang sekali tidak sama dengan warna ke Islaman selama ini. Juga sayang bahwa tinta tuhannya Mirza itu tidak berbau sedap, padahal tinta parker yang kita pakai selalu segar baunya.

Walhasil barang bukti telah lenyap dalam tanah, kecuali jika khalifah Ahmadiyah yang sekarang memberi izin untuk membongkar kubur Sanauri Abdullah mengambil kemeja yang bertinta Tuhan itu dan memeriksakannya ke laboratorium. Jika tidak mungkin, bukankah masih ada bukti-bukti yang lain? Yaitu dokumen-dokumen yang ditanda-tangani tuhan Mirza? Tidakkah itu masih tersimpan aman di Qadian atau di Rabwah? Dan betapa besar hasrat hati ummat manusia sedunia untuk melihatnya, melihat TANDA-TANGAN ALLAH!

Orang-orang Ahmadiyah yang tanpa berpikir lagi langsung meyakini cerita-pengalaman nabinya bertemu dengan Tuhan, adalah bukti nyata dari berbagai bukti lainnya tentang kejahilan alam pikiran mereka dan kebekuan hati mereka. Mereka dengan penuh

kesadaran, tanpa malu telah menunjukkan pada dunia di luar organisasi mereka akan tingkah laku nabinya yang aneh dan gila itu. Suatu halusinasi dari Mirza Ghulam Ahmad disebabkan penderitaan sarafnya, radang otak kesadarannya, pengaruh diabetesnya dan komplikasi yang lain, telah mengelabui mata, pikiran dan hati pengikut-pengikutnya.

Maha Besar Allah, Maha Suci DIA yang telah menjalankan hambaNya dari masjidil Haram ke masjidil Aqsha, kemudian naik ke atas sampai pada suatu tempat dimana tidak seorang Rasul maupun Malaikat bisa sampai kesana. Akan tetapi tidak dengan mi’raj itu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa salam telah melihat Allah!

Akan tetapi pada abad ke-XIX Masehi, justru muncullah seorang dari Qadian India, yang mengaku Al Mahdi, Al Masih, Nabi dan Rasul, pergi ke atas dan melihat Tuhan. Ia amat berani untuk tidak merahasiakan keajaiban pengalaman-pengalamannya itu, ia sedemikian berani sebab ia adalah utusan IBLIS untuk mengobrak-abrik ajaran-ajaran Islam, meracuni alam pikiran kaum muslimin serta merusak iman mereka. Ia, Mirza Ghulam Ahmad ini, adalah Musailamah modern abad ke-19 Masehi dan kumpulan dari DAJJAL yang disabdakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa salam dalam sabda beliau :

“Tidakkan datang hari kiamat sebelum muncul tigapuluh DAJJAL yang masing-masing mengaku dirinya adalah NABI”.

(Shahih Muslim – Ahmad bin Hambal)

Semoga tidak ada seorang muslimpun yang terkecoh apalagi masih tergoda untuk melindungi dan membela HAD (Hak Asasi Dajjal) dari Qadian. Allahul Musta’an.

Ditulis oleh Abdullah Hasan Alhadar dengan beberapa tambahan dan perubahan.

(Bersambung Insya Allah dengan tema: “Muslim India, Awal Abad 19 Masehi”)

Footnote:

[1] Abubakar Najjar, Do You Know about Mirza in love? Islamic Publication Bureau, Athlone Cape South Africa, tanpa tahun, series no. 5 (terjemah bebas).

[2] Asnaghas wahyu ialah wahyu yang datang dari IBLIS.

[3] Mirza Bashir Ahmad, Durr I Manthur, Rabwah, Ahmadiyya Muslim Foreign Missions Office, 1960, hal. 1; Khutbatul Ilhamiyah hal. muka dan Tukhfah Bagdad, hal. muka.

[4] Mirza Ghulam Ahmad, Khutbah Ilhamiyah, hal. 6 (La tagisuni Bii Ahadin Wala Ahadin Bii)

[5] Mirza Ghulam Ahmad, Khutbah Ilhamiyah, hal. 10 (Wa inna qadami hadihi ala Manaratin khutima Alaihi kullu rif’atinn).

[6] Mirza Ghulam Ahmad, Al Wasiyat, terjemah A. Wahid H.A. Jakarta, Neraca Trading Company, 1949, hal. 12.

[7] Mirza Ghulam Ahmad, Al Wasiyat, hal. 13.

[8] Mirza Ghulam Ahmad, Fountain of Christianity, Rabwah m.f.m.o., 1961, hal. 45; Istifta’ hal. 80: (ya qamar ya syamsu Anta minni wa Ana minka).

[9] Mirza Ghulam Ahmad, Fountain of Christianity, hal. 45: (that God made me

first, the “moon” for I came like the moon from the real “sun”; and, then, He became the “Moon”; for, through me shone and will shine, the light of His Glory.)

[10] Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah Membantah Tuduhan Wahid Bakry, hal. 37.

[11] Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah Membantah Tuduhan Wahid Bakry, hal. 37.

[12] Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah Membantah Tuduhan Wahid Bakry, hal. 37.

[13] Saleh A. Nahdi, Ahmadiyah Membantah Tuduhan Wahid Bakry, hal. 38.

[14] Saleh A. Nandi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry, hal. 38.

[15] Mirza Ghulam Ahmad, Tuhfah Bagdad, hal. 21.

[16] ibid, hal. 25.

[17] Mirza Ghulam Ahmad, Tuhfah Bagdad, hal. 23.

[18] Mirza Ghulam Ahmad, Tuhfah Bagdad, hal. 23.

[19] Analyst, Facts about Ahmadiyya Movement, hal. 29.

[20] Mirza G.A., Tuhfah Bagdad, hal. 26; M.G.A., Al Wasiyat, hal. 40.

[21] Mirza GhulamAhmad, Al Wasiyat, hal. 40; Tuhfah Bagdad, hal. 26.

[22] M.G.A. Tuhfah Bagdad, hal. 25.

[23] M.G.A., Tuhfah Bagdad, hal. 25.

[24] M.G.A., Al-Istifta, hal. 86.

[25] M.G.A., Istifta’, hal. 86.

[26] M.G.A., Al Wasiyat, hal. 42.

[27] M.G.A., Tuhfah Bagdad, hal. 30.

[28] M.G.A., Al Wasiyat, hal. 41.

[29] M.G.A., Tuhfah Bagdad, hal. 26.

[30] M.G.A., Al Istifta’, hal. 85.

[31] M.G.A., Al Istifta’, hal. 85.

[32] M.G.A., Al Istifta’, hal. 84.

[33] M.G.A.; Al Istifta’, hal. 85.

[34] Mirza Ghulam Ahmad, Al Istifta’, hal. 86.

[35] Mirza Ghulam Ahmad, Istifta’, hal. 77 (Wa nu’minu kama nu’minu bi Kitaabillah Khaliqul Anaam).

[36] Mirza Ghulam Ahmad, Istifta’, hal. 87 (Ja`ani Ayl).

[37] Mirza Ghulam Ahmad, Istifta’, hal. 82 (Inma Anzalnahu ghariiban minal Qadiaan wabil haqqi anzalnahu wabil haqqi nazal).

[38] ibid, hal. 77.

[39] Ibid, hal. 77.

[40] ibid, hal. 84.

[41] Mirza Ghulam Ahmad, Istifta’, hal. 78.

[42] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, hal. 97.

[43] Mirza Ghulam Ahmad, Istifta’, hal. 81 (innal Qur’an kitabullah wa kalimaatun kharajat min tuhi.)

[44] Mirza Ghulam Ahmad, Istifta’, hal. 81 (wa ma arsalnaka illa rahmatan lil `alamin).

[45] Mirza Ghulam Ahmad, Istifta’, hal. 82 ; al Wasiyat, hal. 36 (anta minni bimanzilati tauhidi wa tafridi).

[46] M.G.A., Istifta, hal. 82; M.G.A., Fountain of Christianty, hal. 45: (anta minni bimanzilati aulaadi).

[47] Analyst, Fact about Ahmadiyaa Movement, hal. 18.

[48] M.G.A., Istifta’, hal. 82 (anta minni bimanzilati waladi).

[49] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s., hal. 15.

[50] M.G.A., Istifta’, hal. 88 (inhama amraka idza aradta syai’an an taqula lahu Kun

Fa yakun)

[51] Mirza Ghulam Ahmad, Istifta’, hal. 79.

[52] Mirza Ghulam Ahmad, Kemenangan Islam, Darul Kutubil Islamiyah, Jakarta, 1960, hal. 31.

[53] Mirza Ghulam Ahmad, Kemenangan Islam, hal. 57.

[54] Sudewo, Asas-asas Ahmadiyah Lahore, 1937, Tansocijbing, Sukabumi, hal. 47.

[55] Sudewo, Asas-asas Ahmadiyah Lahore, hal. 70: (wa raaitani fil manaam

‘ainullah.

[56] M.B. Ahmad, Seerati Tayyiba, A.Q. Niaz Lion Press, Lahore, 1960, hal. 68: 18 dan lih. Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s., hal. 85/86.

[57] Mirza Ghulam Ahmad, Kemenangan Islam, hal. 36 – 45.

[58] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s., hal. 47

[59] ibid, hal. 30.

[60] Bashiruddin. M.A., Invitation, hal. 93: Hazrat Mirza Sahib saw an elephant work-

ing havoc in the world. The elephant was symbolic of the plague which was to take a heavy toll of death. In the dream the animal becomes tame and hamrless and sits respect fully when it comes near the Mirza Sahibba promise of immunity. Hi declared that he and his true followers wouldsuffer little from the ravages of the plague: the town of qadian would suffer much less than other towns and place. Hazrat’s household was. to remain completely safe.

[61] The Muslim Herald, London, February 1972, vol. 12 — no. 2, hal. 30: God will not bring punishment on the residents of Qadian because of him who lives amongs them.

[62] Hazrat’s household was completely sate. (Bashiruddin. M.A., Invatation, hal. 93).

[63] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, hal. 94: Cases of plague occured next

door to him. His own household was pretty large. About a hundred souls consisting of his family, his friend and their families, lived more or less permanently under his roof. Dan lih. Saleh Nandi, Ahmadiyah membantah tuduhan Wahid Bakry, hal. 62.

[64] Not even a rat suffered. In plague the first casualties are rats. If it was not the angels what was it? (Bashiruddin Mahmud Ahmad, Invitation, hal. 94)

[65] The Muslim Herald, London, February 1972, vol. 12 — no. 2 hal. 30: (I am secretly raising an army (of plague germs) to attack them. So they (i.e. the opponents) will lie dead in their homes like the dead camels.)

[66] Sinar Islam, no. 13, Th. XV/1965, hal. 32.

[67] ibid, no. 66 hal. 32.

[68] Saleh Nahdi, Masalah Imam Mahdi, 1966, Raja Pena Surabaya, hal. 15.

[69] Saleh Nahdi, Masalah Imam Mahdi, hal. 16.

[70] Sinar Islam, no. 13/th. XV/1965, hal. 31.

[71] ibid, no. 70. hal. 31.

[72] Sinar Islam, no. 13/th. XV/1965, hal.32

[73] Sinar Islam, no. 10/1965. hal. 13/14

[74] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mau’ud a.s., hal.62

[75] Muslim Herald, London, vol. 12 – February 1972, no.2 hal. 21. (we have turned our eyes towards you ana have ordered: 0 tare (otopposition) cool down on this Abraham and bring peace on him.

[76] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mauud a.s., hal. 44

[77] Mirza Mubarak Ahmad, Masih Mauud, hal. 45.

[78] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Ahmadiyya movement, hal. 45: (Again it was

written that the Messiah would suffer from two disorders, one affecting the upper half of his body and the other affecting the lower half. accordingly the promised Messiah suffered from vertigo and diabetes).

[79] The Muslim Herald, London, vol. 12 February 1972 no. 2, hal. 23: (hazrat Ahmad had once a severe pain in his forefinger. He feared its intensity might not allow him to have peaceful sleep).

[80] ibid, vol. 79, hal 23 (he them immediatly had this revelation: “cool down and bring peace”.

[81] ibid. 80, hal. 26 : (the hazrat had fever when it was revealed to him:

“assalamo alaikum, i.e. may peace and long life be with you” Shortly afterwards he recovered his health.

[82] Randolp Lee Clarks and Russel W. Cumley, The Book of Health, a medical

encyclopedia for every one, 1962, D. Van Nostrand company, inc. Princetton New Jersey, hal. 333: (in some cases, the pationt may become nervous and irritable without cause, exhaustion, ow even fainting preceding, cataracts, neuralgias, meuritis ate.

[83] ibid no. 82; (emotional strain, generalized or lower abdominal distress, abner

mality of the bowel habit …(hal. 418) and nervous or emotional basis, sunstrekke the patient may become unconscous, may experience” crying pell” a feeling of depression, and general lislessnes. (hal. 325 dan 653).

[84] Bashiruddin M.A., Ahmadiyya Movement, hal. 45/46.

[85] Bashiruddin Mahmud Ahmad, Djasa Imam Mahdi a.s., hal. 14.

[86] Perjanjian Baru.

[87] Mirza Ghulam Ahmad, Tuhfah Bagdad, hal. 29.

[88] Majalah Ahmadiyah “Sinar Islam” judul: Suatu Kejadian Yang Unik” no.

4/5/6 th. XIV, April/Mei/Juni, 1964, Jakarta Djemaat Ahmadiyah Indonesia, hal. 47.

[89] Sinar Islam, no. 4/5/6. th. XIV 1964, April/Mei/Juni, hal. 45/48