Membantah Syubhat: Tahdzir Adalah Hak Para Ulama’ Saja [Bag. 1]


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Membantah Syubhat

Tahdzir Adalah Hak Para Ulama’ Saja [Bag. 1]

Orang-orang yang tidak punya hujjah, ketika mereka tidak mampu membela dan membantah bukti-bukti nyata penyimpangannya yang jelas seperti matahari di siang bolong, mereka berusaha memuaskan para suporternya yang bodoh lagi lemah akalnya dan berusaha menipu orang-orang awam yang sebenarnya ingin mencari dan menempuh jalan yang benar dengan cara-cara kotor, licik, murahan, bersilat lidah serta dengan melemparkan berbagai syubhat-syubhat lemah seperti sarang laba-laba untuk memalingkan dan menghalangi manusia dari jalan yang benar. Walhamdulillah para ulama telah membantah semua syubhat-syubhat itu yang sebenarnya ahlul ahwa’ dan orang-orang yang membela mereka di negeri kita ini secara langsung ataupun tidak hanyalah mencopy paste syubhat-syubhat dari gembong-gembong Hizbiyun di luar negeri sana, seperti Abul Hasan alias Abul Fitan Al-Ma’riby, Ali Hasan Al-Halaby dan terakhir Ibrahim Ar-Ruhaily. Diantara syubhat-syubhat penuh racun mematikan itu -dan akan ada tambahannya insya Allah pada makalah berikutnya yang membantah masalah pertanyaan di alam kubur dan mendudukkan masalah ijtihad sesuai penjelasan para ulama- adalah pernyataan bahwa selain ulama tidak boleh membantah atau mentahdzir orang yang menyelisihi dalil. Berikut ini pedang terhunus dari ulama yang menghujam ke dada siapa saja yang berusaha membela kebatilan dengan syubhat bathil di atas:

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ditanya:

Sebagian manusia melampaui batas di dalam membungkam orang-orang yang mentahdzir Mubtadi’ah dan mereka mengatakan: “Ini adalah tugasnya para ulama”. Bagaimana pernyataan semacam ini?

Jawab: Intinya mereka sangat melampaui batas di dalam membungkam penuntut ilmu dengan sekuat-kuatnya. Ucapan ini padanya terdapat teror dan membungkam mulut para pemuda dengan batu untuk menghalangi mereka dari mengatakan kebenaran terhadap ahli bid’ah. Mereka melampaui batas dalam perkara-perkara ini. Dalam masalah-masalah yang tersamar, engkau sebagai penuntut ilmu jangan berbicara padanya tanpa ilmu. Namun di sana ada perkara-perkara yang jelas dan gamblang misalnya kewajiban sholat, kewajiban puasa, kewajiban zakat, kewajiban haji, haramnya istighatsah dan tawassul dengan selain Allah. Perkara-perkara ini perkara jelas, boleh yang berbicara tentangnya seorang ulama, dan juga penuntut ilmu.

Dan di sana terdapat perkara-perkara yang tersamar yang membutuhkan ijtihad, kalau yang ini maka diserahkan pada para ulama. Adapun pada semua perkara maka tidak benar.

Ibnu Bazz, Ibnu Utsaimin, Al-Albani dan para ulama terkenal yang lainnya mereka tidak harus pergi ke Eropa, Amerika, di sana cukup dengan para penuntut ilmu yang berbicara sebatas apa yang mereka ketahui. Adapun masalah-masalah kontemporer maka mereka harus menanyakannya kepada para ulama melalui berbagai sarana di masa ini. Jadi setiap orang menyampaikan sebatas yang dia ketahui. Jika manusia bertanya kepadamu tentang perkara-perkara yang tidak engkau ketahui maka katakanlah: “Demi Allah ini perkaranya tersamar dan membutuhkan ulama yang lebih berilmu dibandingkan diri saya, saya akan bertanya lebih dahulu.”

Adapun perkara-perkara yang jelas maka jelaskanlah dengan syarat engkau mengetahui duduk perkaranya beserta dalil-dalilnya, jangan berbicara dengan kebodohan. Walaupun dalam perkara-perkara yang jelas jika engkau tidak mengetahui dalilnya maka jangan berbicara. Namun jika perkara-perkara tersebut jelas dan engkau mengetahui dalil-dalilnya maka berbicaralah dan jelaskanlah. Di sana terdapat perkara-perkara yang diketahui termasuk dalam dien ini sifatnya darurat yang para penuntut ilmu bisa berbicara tentangnya, misalnya tentang hukum istighatsah dengan selain Allah termasuk perkara-perkara yang jelas.

Allah berfirman:

﴿مَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ﴾

“Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang berdo’a kepada selain Allah yang selain Allah itu tidak akan mampu mengabulkan do’anya hingga hari kiamat, sementara mereka yang dimintai do’a itu tidak menyadari bahwa mereka dimintai do’a oleh mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 5)

Firman Allah:

﴿وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ﴾

“Dan janganlah engkau berdo’a kepada selain Allah yang mana selain Allah itu tidak akan bisa memberi manfaat kepadamu dan tidak mampu memberi mudharat kepadamu.” (QS Yunus: 106)

Jika dia mengetahui dalilnya dia harus menjelaskannya. Misalnya dia melihat seorang Syi’ah atau Sufi melakukan thawaf di sebuah kuburan, beristighatsah, menyembelih dan bernadzar. Apakah ketika itu dia akan mengatakan: “Saya tawaqquf untuk menjelaskan kebatilan ini dan mentahdzirnya dan saya akan menunggu sampai salah seorang Kibarul Ulama datang untuk melakukan kewajiban ini?!”

Saya katakan:

Sesungguhnya mereka ingin membungkam para pemuda Salafy secara khusus karena manusia yang paling banyak mengingkari kemungkaran dan menghadang kebatilan adalah para pemuda Salafy. Kalian melihat para politikus bermesraan dengan Rafidhah, Khawarij dan seluruh ahli bid’ah. Mereka tidak ingin engkau melukai perasaan mereka sehingga mereka mendatangkan ucapan semacam ini, seperti mengatakan:

  1. Tidak boleh berbicara semacam ini kecuali para ulama.
  2. Masih anak-anak sudah berani berbicara.
  3. Dia belum bisa membaca Al-Fatihah dengan benar sudah berani bicara.

Mereka berlebihan di dalam menipu para pemuda Salafy. Semua ini mereka lakukan dalam rangka melindungi atau membela ahlul bid’ah dan menghalangi manusia dari jalan Allah serta meneror para pemuda Salafy yang berdakwah ilallah serta beramar ma’ruf dan nahi munkar.

Kami katakan kepada para pemuda Salafy: kalian saudara-saudaraku tercinta, janganlah kalian berbicara tanpa ilmu. Perkara-perkara yang jelas oleh kalian yang kalian mengetahui dalilnya, silahkan kalian berbicara. Sedangkan perkara-perkara yang tersamar, maka tidak boleh bagi kalian untuk berdalam-dalam membicarakannya. Kita katakan hal ini kepada mereka kemudian kita katakan: berdakwahlah ilallah, masing-masing berdakwah sesuai keadaan ilmu yang dia ketahui.

Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda:

بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْ آيَةً.

“Sampaikan dariku walaupun satu ayat.”

(Sumber: Aunul Bary bi Bayani Ma Tadhammanuhu Syarhus Sunnah lil Imam Al-Barbahary 1/423-424)

Setelah kita mengetahui penjelasan Asy-Syaikh di atas, maka kami katakan: apakah kalian akan menolak kebenaran dengan dalih si penyampai bukan lulusan ma’had, bukan santri, cuma ikut ta’lim mingguan atau ucapan yang semisalnya?!

Gambar 1. Screenshot jurus berkelit dalam menolak kebenaran setelah tak mampu membantah bukti-bukti nyata kejahatannya. Bukan lulusan pondok pesantren, tidak pernah sekolah di luar negeri, paling banter aktivis kajian mingguan dan daurah.

Bukankah kebenaran itu harus diterima dari siapapun -bukan dalam hal mengambil ilmu- jika dia menyampaikan dengan ilmiah dan bisa dipertanggung jawabkan?!

Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda:

«لا يدْخُلُ الجنةَ مَنْ كان في قلبه مثقالُ حبَّة من كِبْر»

“Tidak akan masuk syurga siapa saja yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi.”

Maka ada seorang shahabat yang bertanya: “Sesungguhnya seseorang itu menyukai pakaiannya bagus dan sandalnya bagus.”

Maka Rasulullah shallallahu alaihi was salam menjelaskan:

«إنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ: بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ»

“Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)

Ini bukan berarti kita merasa paling benar atau paling suci atau meyakini tidak memiliki kesalahan. Kita berlindung kepada Allah dari semua itu. Tetapi hendaklah kalian tunjukkan secara ilmiah di mana letak kesalahannya! Demi Allah kita akan rujuk kepada kebenaran karena keridhaan Allah yang itu merupakan keselamatan dari adzab Allah itu adalah tujuan kita hidup di dunia yang sebentar ini.

Gambar 2. Screenshot… bagaikan anak kecil yang bermain pisau bedah. Contoh status fb dari orang yang sedang “duduk” di hadapan ulama di Yaman pasca penyebarluasan makalah bara’ah (terhadap gurunya) yang ditulis oleh Al-Akh Abu Kahfy yang secara jujur menegaskan, “Bukan, penulis bukanlah santri atau ustadz, penulis hanyalah seorang pendengar kajian-kajian yang disampaikan astidzah ahlus sunnah.”

Tetapi kalau kalian tidak bisa menunjukkan kesalahan kami secara ilmiah, melainkan hanya dengan tuduhan-tuduhan tanpa bukti yang kalian lemparkan selama ini atau dengan hal-hal yang memalingkan dari substansi masalah yang itu merupakan senjata orang-orang yang tidak punya hujjah, berarti kalian adalah orang-orang yang dusta karena Allah berfirman:

هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ.

“Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar!” (QS. Al-Baqarah: 111)

Kami siap menerima kebenaran karena itu adalah perintah Allah. Kemudian karena kami ingin meneladani para ulama yang Ahlus Sunnah semuanya pasti mencintainya dan tidak ada yang membencinya kecuali ahli bid’ah. Dialah Asy-Syaikh Al-Allamah Al-Qudwah Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah. Beliau inilah yang sering kalian kesankan kepada suporter kalian dari kalangan Hizbiyun atau Mumayyi’un bahwa beliau bersama kalian, padahal kalianlah orang yang paling nampak menyelisihi beliau dalam banyak perkara. Dan kami katakan dengan lantang: tidak ada manfaatnya kalian sekian lama duduk di hadapan para ulama dan mencomot nama mereka jika menyelisihi kebenaran yang mereka tempuh. Ilmu yang kalian dapati hanyalah hujjah yang akan menghantam kalian sendiri.

Gambar 3. Ketika diposting tanya jawab  dengan Asy-Syaikh Jamal Furaihan hafizhahullah

Gambar 4. Screenshot trik licik dan bersilat lidah serta lari dari menjawab pertanyaan dengan cara menghina & menjatuhkan mental Ahlussunnah… mungkin ketika itu Anda duduk di bangku kelas 4 SD. Memangnya kenapa? Apakah menjadi jaminan kebenaran tindak tandukmu selama ini dalam memuliakan, memuji dan membela corong-corong Mubtadi’ dan orang yang menyimpang semacam Rodja, Yazid Jawas dan Badrusalam?

Beliau hafizhahullah berkata:

“Apa yang saya tulis tentang Sayyid Quthb dan selainnya jika kalian mendapati saya melakukan kesalahan dan kezhaliman dalam sebuah hal maka demi Allah saya siap untuk menerima nasehat walaupun dari seorang murid di jenjang Tsanawiyah (setingkat SMA) atau Mutawasith (setingkat SMP), dan demi Allah telah datang kepada saya sebuah catatan -mungkin manusia ada yang telah mengetahuinya- melalui telepon yang mengatakan: “Mohon dilihat halaman sekian ada pernyataan demikian dan demikian, apa pernyataan ini benar?” Lalu saya pun melihat di poin tersebut kemudian saya menjawab: “Tidak, ini jelas salah. Jazakallahu khairan. Jika engkau masih mendapati kesalahan semacam ini, kabarkanlah kepadaku wahai anakku!” Kami menginginkan kebenaran dan mencari kebenaran. Demi Allah wahai anak-anakku, kami tidak memerangi seorang pun. Kami tidak menginginkan politik dan tidak pula mengharapkan kekuasaan. Seandainya kami ditawari jabatan, kami tidak akan menerimanya. Kami ingin membela agama ini dan ingin membela manhaj yang benar yang bersumber dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was salam ini. Yang kami perangi adalah khurafat dan bid’ah-bid’ah. Khurafat politik dan kedustaan-kedustaan politik yang telah menelantarkan para pemuda ummat ini dan menjauhkan mereka dari prinsip al-wala’ wal bara’ karena Allah dan para wali-Nya serta hamba-hamba-Nya yang saleh, dengan menggantinya menjadi al-wala’ wal bara’ karena orang-orang yang suka khurafat dan para ahli bid’ah yang Rafidhah termasuk mereka.” (At-Tahdzir min Al-Fitan, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly hal 90-91)

http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=41905

Allahu Akbar. Dan silakan dibandingkan dengan kelakuan HB, JS dan suporternya yang menolak kebenaran serta merendahkan orang-orang yang menyampaikannya ketika tidak mampu menjawab dengan hujjah ilmiah. Ingat; yang terbaik di sisi Allah adalah yang paling bertakwa -semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa- bukan yang paling banyak ilmunya, karena takwa itu sendiri dibangun di atas ilmu, namun kenyataannya banyak orang yang berilmu namun menyelisihi ilmu yang dia ketahui sehingga kita kuatirkan keadaannya seperti orang-orang Yahudi yang Allah umpamakan dengan keledai yang mengangkut kertas-kertas yang berisi ilmu yang tidak bisa mengambil manfaat darinya, jika seperti itu apa gunanya ilmu yang banyak wahai orang-orang yang berakal?!

Kita memohon kepada Allah keselamatan dari hawa nafsu yang nampak maupun yang tersembunyi yang akan menghalangi kita untuk mendapatkan ampunan dan keridhaan-Nya. Allahumma Aamin.

Baca artikel terkait: