Mendudukka​n Syubhat “Khilafiyah Ijtihadiyah” (Bag.1)


Berdalih Dengan Menyatakan Bahwa Sebuah Masalah Padanya Terdapat Khilaf

(Al ‘Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah)

Syubhat Khilafiyah Ijtihadiyah 1

Pengantar

Setelah pada era sebelumnya Firanda melemparkan syubhat Khilafiyah Ijtihadiyah sebagai talbis untuk melindungi kejahatan dan kesesatan yang sedemikian parah dan banyak dari Ihya’ut Turats dengan bermodal utama buku propaganda Ihya’ut Turats yang berjudul Syahadah Muhimmah terbitan kantor Pusatnya di Qurtuba Kuwait. Walhamdulillah buku tersebut di negara asalnya sana tidak mampu menggoncang Salafiyin karena Salafiyun Kuwait telah begitu paham trik-trik dan makar jahat Ihya’ut Turats.

Demikianlah, buku Lerai Pertikaian Firanda yang “ruh” utamanya adalah buku propaganda Ihya’ut Turats yang tak laku dalam menggoncang Salafiyun Kuwait agar mau ishlah dan rifqan-rifqanan dengan Turatsiyun, diimport ke negeri ini oleh Firanda dan “berhasil” dielu-elukan oleh para Turatsiyin Irsyadiyin sebagai Buku Emas mereka, masya Allah.

Penerus tongkat estafet pengobar syubhat Khilafiyah Ijtihadiyah berikutnya adalah facebooker Jafar Salih Siregar Diapari dengan dukungan kawan-kawannya dan para suporternya yang memiliki link dan afiliasi dengan jaringan Turatsiyun Irsyadiyun Halabiyun yang dalam banyak kesempatan melontarkan kalimat tersebut dalam rangka membela dan melindungi orang-orang yang menyimpang dan bahkan menegaskan janganlah persoalan semacam itu dijadikan alasan untuk saling bermusuhan dlsb.

Tulisan ini adalah bagian pertama untuk mendudukkan syubhat seputar istilah “Khilafiyah Ijtihadiyah” yang digunakan oleh para pengekor hawa nafsu untuk melindungi tokoh-tokoh penyesat umat atau menjadikan khilaf sebagai pembenaran dalam melakukan hal yang dia yakini walaupun menyelisihi dalil. Allahul musta’an.

Al ‘Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata:

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٥٣)

 “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain yang akan menyebabkan kalian terpecah-pecah dari jalan-Nya, itulah yang Dia wasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)

Juga firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩(

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Ar-Rasul serta ulil amri kalian, lalu jika kalian berselisih dalam sebuah hal, kembalikanlah kepada Allah dan Ar-Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hal itu lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)

Nabi shallallahu alaihi was salam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.

“Karena sesungguhnya barangsiapa yang berumur panjang diantara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan petunjukku dan petunjuk para khalifah yang mendapat hidayah dan lurus dan gigitlah petunjukku dengan gigi geraham.” (1)

Demikianlah Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita ketika terjadi perselisihan diantara para ulama dalam sebuah masalah, yaitu hendaknya kita mengambil perkataan mereka yang sesuai dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah dan kita tinggalkan yang menyelisihi dalil, karena ini merupakan tanda iman kepada Allah dan Hari Kiamat dan akibatnya yang terbaik buat kita. Dan jika kita mengambil pendapat yang menyelisihi dalil maka akan menyebabkan kita tercerai berai dari jalan Allah dan akan menjatuhkan kita ke jalan kesesatan.

Hal ini sebagaimana yang telah Allah kabarkan tentang Yahudi dan Nashara bahwasanya mereka telah menjadikan para ulama dan rahib mereka sebagai rabb selain Allah. Dan ketika Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu salah dalam memahami apa yang dimaksud dengan menjadikan mereka sebagai rabb selain Allah, dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi was salam bahwasanya sikap mereka menjadikannya sebagai rabb maknanya adalah dengan mentaati mereka dalam menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan oleh Allah.

Banyak manusia pada hari ini jika engkau melihatnya melakukan hal yang menyelisihi syariat dan engkau melarangnya, dia berdalih kepadamu: “Masalah ini padanya terdapat khilaf”. Jadi, dia menjadikan khilaf sebagai pembenaran baginya dalam melakukan hal yang dia yakini walaupun menyelisihi dalil. Lalu apa bedanya antara dia dengan keadaan Ahli Kitab yang telah menjadikan para ulama dan rahib mereka sebagai rabb selain Allah.

Maka yang wajib atas mereka adalah hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dalam urusan mereka dan hendaklah mereka mengetahui bahwa adanya perbedaan dalam sebuah masalah tidak membolehkan mereka untuk menyelisihi dalil. Sampai-sampai banyak orang-orang bodoh yang berusaha mencari-cari pendapat-pendapat para ulama yang tersimpan di komputer yang dinukil dari kitab-kitab yang berisi khilaf, lalu dia berfatwa dengan mengambil pendapat-pendapat tersebut yang mencocoki hawa nafsunya tanpa menyaring mana yang sesuai dengan dalil shahih dan mana yang tidak memiliki dalil. Bisa jadi karena kebodohan atau karena hawa nafsu. Dan orang yang bodoh tidak boleh baginya untuk berbicara dalam syariat Allah hanya berdasarkan apa yang dia baca dan yang dia lihat di data yang tersimpan dalam keadaan dia tidak mengetahui sejauh mana kebenarannya dan apa dasarnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan Allah tidak memerintahkan kita untuk hanya merujuk kepada sebuah kitab fikih tanpa memahaminya. Bahkan Allah memerintahkan kita agar bertanya kepada para ulama dengan firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٤٣(

“Maka bertanyalah kepada para ulama jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Orang yang suka mengikuti hawa nafsunya tidak boleh untuk menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan selain Allah dengan cara mengambil pendapat yang sesuai hawa nafsunya dan meninggalkan yang tidak dia sukai.

Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥٠)

“Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.” (QS. Al-Qashash: 50)

Juga firman-Nya:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا (٤٣)

“Bagaimana pendapatmu terhadap orang yang menjadikan sesembahannya adalah hawa nafsunya, apakah engkau bisa menjadi pelindungnya.” (QS. Al-Furqan: 43)

Dan juga tidak boleh bagi siapa saja yang memiliki ilmu untuk mencari-carikan pendapat untuk manusia yang sesuai dengan hawa nafsu mereka sehingga dia akan menyesatkan mereka dari jalan Allah dengan alasan memberikan kemudahan. Kemudahan itu hanyalah dengan cara mengikuti dalil. Jangan sampai dia termasuk orang-orang yang Allah jelaskan sifat mereka:

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلا سَاءَ مَا يَزِرُونَ (٢٥)

“Agar mereka memikul dosa-dosa mereka secara sempurna pada Hari Kiamat nanti serta dosa-dosa orang-orang yang mereka sesatkan tanpa ilmu.” (QS. An-Nahl: 25)

Semoga Allah memberikan taufik kepada semua pihak agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan bisa beramal saleh.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه.

http://www.alfawzan.ws/node/13194

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=120826

(1)  HR. Abu Dawud (4607), At-Tirmidzy (2676) dan Ibnu Majah (43, 44) dan Ahmad (4/126) dengan lafazh yang mutaqarib dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah di dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (921) dan di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (5/24-25) dan dicantumkan Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (937) (pent)

Tinggalkan komentar