Bedah Buku Siapa Teroris Siapa Khawarij (Bantahan)


Selengkapnya…

 

Catatan Kaki :


[1]               Pembaca yang budiman perlu mengetahui siapakah Halawi Makmun, sehingga dapat mengetahui dimanakah tempat duduknya. Halawi Makmun adalah ketua Departemen Penerapan Syariat dari organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Abu Ba’asyir adalah rekan Abdullah Sungkar saat bersama-sama mewarisi pemikiran Kartosurwiryo DI/TII/NII, sehingga keduanya terpaksa hengkang dari Indonesia beberapa tahun yang lalu. Organisasi MMII ini memiliki sayap militer yang dinamai Laskar Mujahidin, organisasi yang kerap dikaitkan dengan kerusuhan di Poso Sulteng dan Maluku. Pimpinan MMI, Abu Bakar Ba’asyir menurut Surat Keputusan Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK) Dewan Dakwah Pusat No. 03/SK/KOMPAK/II/200, pernah diangkat menjadi Pembina KOMPAK Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) cabang Jawa Tengah dan DIY, bersama K.H Wahyudin (Direktur Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin Ngruki),  (menurut situsnya sendiri, sempat aktif di tahun 2003, http://www.megaone.com/kompak/berita/utama.htm) dan  diketuai Aris Munandar, Lc (Buron polisi, warga Boyolali).  Imam Samudra (warga Banten, terkait bom Bali I) sang penulis buku “Aku Melawan Teroris” yang belakangan dibantah oleh Al Ustadz Luqman Ba’abduh dalam bukunya “Mereka Adalah Teroris”.  Baik Imam, maupun Abu Bakar kita tahu sama-sama dalam jaringan Ngruki, serta sama-sama mendapatkan perhatian Tim Pengacara Muslim (TPM). Pembaca juga mengetahui – secara tidak langsung – adanya buku “Siapa Khawarij?Siapa Teroris?” karya Abduh Zulfidar Akaha, yang membantah – bantahan dari buku Imam Samudra- menunjukkan yang bersangkutan membela pemikiran Imam Samudra dkk. Disinilah letak keunikan DDII yang juga turut memfasilitasi acara bedah buku terbitan Pustaka Al Kautsar karya Abduh ZA, DDII tampak punya kepentingan terkait ulah jaringan Ngruki (Imam Samudra, Abu Bakar Baasyir cs) yang didukung langsung oleh pembesar MMI (Halawi Makmun, Fauzan Al-Anshari). Sementara kita tahu, rekan-rekan Abdullah Shalih Al Hadrami (pembicara dalam bedah buku di Malang) yakni Yazid Abdul Qadir Jawwas, Abdul Hakim Abdat, Abu Qatadah juga mendapat tempat di masjid DDII. Ada apakah gerangan ?  
[2]               Abdullah Shalih Al-Hadrami adalah penulis di majalah As Sunnah yang dikelola oleh Ahmas Faiz dkk, salah satu artikelnya di muat di majalah As Sunnah berjudul Empat Racun Hati yang menyoroti salah satu racun hati adalah banyak bergaul dengan sembarang orang, yakni di majalah As-Sunnah 09/VII/1421H hal 24 – 25. Paradoks memang, dimanakah kecemburuan Abdullah sehingga bisa berdampingan dengan Abduh Z.A dan Halawi Makmun yang mencaci-maki salafiyyin dan ulamanya ? Apakah kehadirannya ini bertujuan untuk meluruskan dan membantah berbagai syubhat dan tuduhan yang dilontarkan oleh Abduh dan Halawi? Simak transkrip acara bedah buku ini. Abdullah juga salah satu dai yang direkomendasikan oleh LBI Al Atsary dalam postingnya ke 454 judul PENGAJIAN AKBAR NASIONAL: Islam Rohmatan Lil ‘Alamin, juga direkomendasikan komunitas mereka di mailing listnya
assunnah@yahoogroups.com pada pesan ke 10406, serta komunitas yang menamakan dirinya ‘Forsitek Unibraw’ dalam informasi Kajian Rutin di Kota Malang. Abdullah juga termasuk pembicara pada acara Pengajian Akbar Nasional “Indahnya Islam” bersama Abdul Hakim bin Amir Abdat, Agus Hasan Bashori Lc., M. Ag,  pada tanggal 13/07/2006,  sebagai penceramah yang mengusung judul “Pelecehan Terhadap Islam”. Cukuplah nama-nama di atas menunjukkan dimanakah “tempat duduknya”. Kegiatan ini terselenggara berkat kerjasama Forsitek (Forum Studi Islam Teknik Elektro), Fortelis PWK (Forum Telaah Islam Perencanaan Wilayah Kota), Lembaga Bina Masyarakat (LBM) Malang serta Perpustakaan Masjid Raden Patah Unibraw. Sungguh sangat menyedihkan bahwa da’i yang menyerukan kepada umat agar menjauhi Empat Racun Hati ternyata di acara ini dia sendiri ‘meminum’ salah satu racun hati yang dia soroti ! Dan yang lebih menyayat hati, da’i ini juga berhasil merealisasikan apa yang telah diajarkannya dalam acara Nasional bertajuk Pelecehan Terhadap Islam!!
[3]
Transkrip resmi dari penerbit Kautsar dari situs http://www.kautsar.co.id dicopy tgl 20-09-2006 pukul 16.17 WIB (Anehnya tanggal 20 November 2006, tampilan situs tersebut berubah total dan transkrip Abdullah Hadrami dan Abduh di Malang lenyap dari tempatnya, ada apakah gerangan ???) sbb :
Menurut Abduh pemakaian kata ‘ana salafiy‘ adalah muhdats (sesuatu yang baru). Tidak ada satu ulama pun, terutama sebelum Ibnu Taimiyah, yang menisbatkan dirinya pada salafiy. Bahkan Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab pun tidak pernah menyebut dirinya sebagai ‘as-salafiy‘. Dalam kitab-kitab mu’jam atau kamus-kamus Arab, seperti; Mukhtar Ash-Shihah, Lisan al-’Arab, al-Qamus al-Muhith, dan al-Munjid; pun tidak ada disebutkan kata ‘as-salafiy‘. Halawi Makmun mengatakan: bahwa perselisihan yang terjadi di kalangan salafi bukan dikarenakan mereka berbeda pendapat, tetapi karena berbeda ‘pendapatan’. Mereka ini sering sekali mengatasnamakan Ibnu Taimiyah, padahal setelah dicek, ternyata Ibnu Taimiyah tidak mengatakan seperti yang mereka katakan. Bahkan banyak sekali pendapat mereka yang berbeda dengan Ibnu Taimiyah. Dan menurut Abdullah Hadromy kelompok salafinya Luqman Ba’abduh sering bicara soal aqidah, tetapi ternyata aqidah mereka sendiri belum benar. Sebab, mereka tidak memperhatikan masalah akhlak dalam dakwahnya. Padahal aqidah dan akhlak tidak bisa dipisahkan. Nabi SAW bersabda,”Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya berkata yang baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya menghormati tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya
.” (Bedah buku “SIAPA TERORIS?SIAPA KHAWARIJ? Ahad, 03 September 2006, di Widyaloka Convention Hall Universitas Brawijaya, Malang. Selaku pembicara: Abduh Zulfidar Akaha, Lc.,Abdullah Hadromy dan Halawi Makmun, Lc.,MA).
Salafy senantiasa menjadikan ulama-ulama Salafy sebagai rujukan dalam segala persoalan agama, diantaranya: Syaikh Rabi, Syaikh Bin Baz & Syaikh Albani. Dengan mengutamakan pendapat Syaikh Rabi dibanding Syaikh yang lain…”menurut Abduh. Sementara Fauzan mempertanyakan posisi Luqman Ba’abduh, apakah Luqman berada diantara Goerge Bush (kalangan kafir)? Atau berada yang oleh Amerika disebut Teroris, seperti: Hamas, Al-Qaeda dan gerakan Islam lainnya. Sedangkan Halawi menegaskan Salafy Yamani (Luqman Ba’abduh cs) adalah teroris dan khawarij sesungguhnya!

(Bedah buku “SIAPA TERORIS?SIAPA KHAWARIJ? Ahad, 13 Agustus 2006, di Masjid Al-Furqan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jl.Kramat Raya 45 Jakarta Pusat. Pembicara Abduh Zulfidar Akaha, Lc (Penulis), Drs. Fauzan Al-Anshari, MM (Ketua Departemen Data & Informasi MMI), Halawi Makmun, MA (Mubaligh).)Kita katakan: “Fauzan al-Anshari adalah jubir MMI, sebagaimana pula kita ketahui bahwa Laskar Mujahidin (sayap militer MMI) memiliki peran yang sangat dominan dalam struktur KOMPAK-DDII, sampai-sampai banyak yang terkecoh dan menyangka bahwa KOMPAK adalah underbow dari MMI. Bahkan Umar al-Farouk-pun masuk ke Ambon di bawah bendera KOMPAK-DDII. Apakah da’i terkenal semacam Yazid bin Abdul Qadir Jawaz dan Abu Qatadah (yang juga diminta Dewan Dakwah untuk mengisi kajian rutin di Masjid Al-Furqan) juga hadir dalam acara koalisi nasional anti Salafi di Masjid Al-Furqan Dewan Dakwah sebagaimana footnote di atas? Allahu a’lam.”“Menurut Abduh,”Salafi gaya baru ala Syaikh Rabi’ ini baru muncul paska Perang Teluk. Semua buku-buku, makalah-makalah, dan fatwa-fatwa yang mendiskreditkan IM dan para tokohnya, serta jamaah-jamaah Islam secara umum, terutama yang punya perhatian terhadap politik; baru muncul paska Perang Teluk? Sementara Budi Azhari mengatakan meskipun Syaikh Muqbil adalah orang yang paling mendekati dengan Syaikh Rabi; dalam hal kekasaran dan ketajaman lisannya, namun Syaikh Muhammad Aman Al-Jami (guru Syaikh Rabi’) masih lebih kasar daripada Syaikh Rabi’. Kelompok salafi ini mempunyai kelemahan dan kesalahan yang sangat fundamental dalam manhajnya.” (Bedah buku “SIAPA TERORIS?SIAPA KHAWARIJ? Ahad, 26 Agustus 2006, di Masjid Dakwah Islam (Pusat Studi Islam Al-Manar) Matraman, Jakarta Timur. Pustaka Al-Kautsar bekerjasama dengan Dewan Pengurus Cabang Partai Keadilan Sejahtera Matraman. Pembicara : Abduh Zulfidar Akaha, Lc. (Penulis buku) dan Budi Azhar, Lc. (Dewan Syariah Wilayah DPW PKS DKI Jakarta) ). Inilah bukti yang jelas dari publikasi dan ucapan mereka sendiri tentang hinaan mereka pada ulama, serta ridlonya salah satu dai mereka dengan para penghina ulama. Silakan pembaca yang budiman menyimak footnote-footnote lanjutan untuk bantahannya. Barakallahufiikum.
[4]              Kita tanyakan kepada ustadz ini : Pantaskah bagi anda untuk menasionalkan pelecehan terhadap syari’at Allah ini dan menjadikannya sebagai bahan bersenda gurau dan tertawaan? Inikah forum ‘ilmiah’ yang engkau dambakan selama ini ? Wahai orang yang ‘alim, darimanakah engkau dapati berita ghaib bahwa syaithon  itu beristri? Sekali lagi, dari manakah engkau dapatkan berita ghaib bahwa syaithon mempunyai lima istri ? Qul haatu burhanakum inkuntum shodiquun.
[5]              Apakah membela tulisan Imam Samudra, Ikhwanul Muslimin dan tokoh-tokohnya, sementara dia pernah aktif di PAN bukan merupakan tendensi yang jelas pada partai dan kelompok tertentu?
[6]              Benarkah ucapannya ini ? ”Ketahuilah yang disebut dengan istilah salaf  atau salafus shalih yang bermakna para pendahulu, seperti ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada Fathimah:
               
فَاتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ. (رواه مسلم، فضائل فاطمة 2/245حديث 98)
               
“Bertaqwalah kepada Allah (wahai Fathimah) dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf  (pendahulu) bagimu.” (HR. Muslim) Yakni yang dimaksud oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ialah bahwa beliau yang mendahuluinya dalam kebaikan sehingga maknasalaf adalah orang-orang yang mendahului dalam kebaikan. Istilah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ini dikenal untuk menyebut para shahabat dan tabi’in yang mendahului kita di jalan Sunnah. Jalan merekalah yang harus ditempuh oleh generasi yang datang setelahnya, memahami dengan pemahaman mereka, menerapkan dan mendakwahkannya seperti mereka. Jalan merekalah yang kemudian dikenal dengan istilah manhaj salaf, metode salaf, ajaran salaf atau pemahamansalaf dan lain-lain. Ringkas kata, ketika seseorang mengaku muslim, maka konsekwensinya adalah harus menjadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan seseorang yang mengaku Ahlus Sunnah wal Jama’ah harus berpegang teguh dengan manhaj Salaf. Kalau tidak demikian maka hal itu hanyalah sekedar pengakuan tanpa bukti dan hanya penamaan tanpa arti.“ http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=433
Para shahabatpun sering menggunakan istilah salaf untuk menyebutkan tentang mereka-mereka yang sudah mendahuluinya. Seperti ucapan Anas bin Malik -seorang shahabat yang paling akhir meninggal. Tatkala beliau melihat kerusakan-kerusakan kaum muslimin ketika itu, beliau berkata: “Kalau saja ada seseorang dari kalangansalaf yang pertama dibangkitkan hari ini, maka dia tidak akan mengenali Islam sekarang sedikitpun kecuali shalat ini”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34)
Demikian pula para ulama sepeninggal beliau. Mereka pun sering menyebut istilahsalaf untuk menerangkan bahwa jalan yang benar adalah jalan salaf, yakni jalannya para shahabat. Berkata Maimun bin Mahram meriwayatkan dari ayahnya: “Kalau saja ada seseorang dari kalangansalaf dibangkitkan diantara kalian, niscaya dia tidak mengenali keislaman kecuali kiblat ini (Al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, Juz 1 hal 34).”
”Oleh karena itu istilah salaf dikenal oleh para ulama untuk menunjukkan generasi pertama dan utama dari umat ini seperti yang pernah diucapkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan selainnya. Simaklah apa yang dinasehatkan oleh Abu Amr al-Auza’i: “Sabarkanlah dirimu di atas jalan sunnah. Berhentilah kamu dimana kaum itu berhenti. Ucapkanlah apa yang mereka ucapkan. Tinggalkanlah apa yang telah mereka tinggalkan dan jalanilah jalan salafmu yang shalih.” Beliau juga berkata: “Wajib bagi kalian untuk berpegang dengan jejak-jejak salaf  walaupun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah kalian dari pendapat-pendapat manusia walaupun mereka mengindahkan ucapannya untukmu.” Dan masih banyak ucapan ulama yang lainnya.” http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=433
Imam Bukhari (6/66 Fathul Bari) : “Rasyid bin Sa’ad berkata : Dulu para salaf menyukai kuda jantan, karena dia lebih cepat dan lebih kuat. Al-Hafidz Ibnu Hajar: Yaitu dari para sahabat dan orang setelah mereka.
Imam Abu Hanifah (meninggal tahun 150 H) Rahimahullah berkata:”Ikutilah Atsar (yang telah diriwayatkan) dan jalannya para Salaf (ulama yang terdahulu yg shalih) serta berhati-hatilah pada perkara-perkara yang baru (inovasi baru dalam Dien), sebab hal itu adalah bid’ah” (Diriwayatkan oleh As Suyuthi dalam Saunul Mantiq wal Kalam hal.32). Imam Muslim membawakan perkataan dari muqoddimah Shahihnya (Shahih Muslim hal 16) mengenai Abdullah Ibnul Mubarak yang berkata di depan orang-orang, “Tinggalkan hadits-haditsnya ‘Amr bin Tsabit, yang dia gunakan untuk mencaci-maki para Salaf“.” http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=23
                “Sedangkan manhaj salaf adalah suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dinul Islam yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang mengikuti manhajsalaf ini disebutSalafy atau As-Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As-Salafiyyun.
                Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: “As-Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala` 6/21).
Al-Imam Al-Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf  walaupun orang-orang menolakmu dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu, walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy-Syari’ah, Al-Ajurri hal. 63).
Al-Imam As-Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj as-salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al-Intishar li Ahlil Hadits, Muhammad bin ‘Umar Bazmul hal. 88).
Al-Imam Al-Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi shahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah 2/437-438).
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf maka ia adalah kesesatan.” (Al-Muwafaqat 3/284).”
                Ibnu Mandzur: “Salaf adalah orang yang mendahuluimu dari nenek moyang serta kerabatmu yang lebih di atasmu baik dari usia maupun keutamaan. Oleh karenanya generasi pertama umat ini dari kalangan tabi’in dinamakan salafush shalih.”  (Lisanul Arab 9/159)
Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam pernah berkata kepada putri beliau Zainab Radhiyallahu ‘anha ketika dia meninggal, “Susullah salaf shalih (pendahulu kita yang sholeh) kita Utsman bin Madz’un” (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 1/237-238 dan Ibnu Saad dalam Thobaqaat 8/37 dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Syarah Musnad No. 3103)
“Dalam keputusan Majelis Ulama (Saudi Arabia), No 1361 (1/165) disana terdapat pernyataan, “Salafiyyah adalah suatu penisbahan kepada Salaf dan Salaf adalah Shahabat Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasalam) dan di bawah bimbingan Imam dari tiga yang pertama generasi (semoga ALLAH meridlai mereka), kebaikan mereka telah disaksikan oleh Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasalam), “Yang terbaik adalah ummat generasiku (Shahabat Nabi), kemudian mereka yang mengikuti setelahnya (Tabi’in), kemudian mereka yang mengikuti setelah mereka (Tabi’iut Tabi’in), kemudian akan ada ummat yang datang, kesaksian mereka mendahului sumpah mereka dan sumpah mereka akan mendahului kesaksian mereka.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga oleh al-Bukhari dan Muslim. Dan “Salafy” (Salafiyyun) adalah yang jamak dari Salafi“, yang mereka menisbahkan kepada Salaf, dan berarti yang mendahului. Dan mereka yang berpegang diatas manhaj Salaf, diantara para pengikut Kitab (Al Quran) dan Sunnah, atau mereka yang berdakwah di atas keduanya dan serta yang bertindak sesuai mereka disebut kedua-duanya, dan beramal diatasnya (Al Quran dan Sunnah), maka mereka jelas termasuk dalam golongan Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah.” Sebagaimana dinyatakan ‘ Abdul Aziz bin Abdurahman Al As-Sa’ud, ” Tentu saja aku adalah Salafy, Aqidahku adalah Salafiyyah, dengannya (pernyataan ini) aku memerlukan untuk berpegang di atas Kitab (Al Quran) dan Sunnah”. (yang dinyatakan saat berhaji th 1965, ‘ Al-Mushaf Was-Saif’ Hal.135). “ http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=102
Al Allaamah Abdul Aziz Ibn Baz dahulu (sebelum meninggal) adalah mufti Saudi Arabia – pernah ditanya : “Apakah yang anda katakan tentang seseorang yang menamai dirinya Salafy‘ atau ‘Atsari‘ ? Apakah ini termasuk menganggap dirinya bebas dari kesalahan/suci ?”  Kemudian Syaikh menjawab : “Semoga ALLAH mengasihi dirinya. “Ketika dia berkata jujur (dengan klaim dirinya) bahwa dia adalah Salafy atau Atsari (dgn bukti dhohirnya – red, maka tidak mengapa penyebutan tsb. Hal ini identik dengan perkataan ‘Si Fulan adalah Salafi’ atau ‘Si Fulan adalah Atsari’.  Ini merupakan pujian yang diperlukan dan bahkan diharuskan”. (Untuk membedakan diri dari aliran yg keliru – red).  Sumber : Kaset Haqq ul-Muslim 16/1/1413 Ta’if.  “Sesungguhnya salaf adalah generasi pertama dan yang mulia dari umat ini. Barangsiapa yang mengikuti jejak mereka dan berjalan diatas metode mereka maka dialah Salafi dan barangsiapa yang menyelisihi mereka maka dia adalah al-kholaf” (Ta’liq Syaikh Hamd At-Tuwaijiri atas kitab Aqidah Hamawiyah hal 203)“ http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=32
                “Allah telah menamai kita muslim, kenapa harus menisbahkan diri kita pada Salaf?
Syubhat ini telah dijawab dengan sangat indahnya oleh Al Imam Al Albani rahimahullah – muhadits ternama di era ini – dalam diskusinya dengan seseorang (Abdul Halim Abu Syakkah), yang direkam dalam kasetnya yang berjudul “Saya seorang Salafy”, dan inilah sebagian hal yang penting dari diskusi itu:
Syaikh Al Albani berkata : “Jika dikatakan padamu, apa madzhabmu, maka apa jawabanmu?”
Penanya : “Muslim”
Syaikh Al Albani : “Ini tidaklah cukup”
Penanya : “Allah telah menamai kita dengan muslim (kemudian dia membaca firman Allah), ‘Dialah yang telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu (Al Haj Surat 22 ayat 78)’”
Syaikh Al Albani : “Ini merupakan jawaban yang tepat, jika kita berada disaat Islam itu pertama kali muncul, sebelum firqah-firqah bermunculan dan menyebar. Tapi jika ditanyakan, pada saat ini, pada setiap muslim dari berbagai macam firqah yang berbeda dengan kita dalam masalah aqidah, maka jawabannya tidaklah jauh dari kalimat ini.
Mereka semua, seperti Syi’ah Rafidlah, Khariji, Nusayri Alawi, akan berkata ‘Saya muslim’. Sehingga penyebutan “muslim” (saja) tidak cukup pada saat ini.”
Penanya : “Kalau begitu, (saya akan berkata) saya adalah Muslim berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah”
Syaikh Al Albani : “Ini juga tidak cukup”
Penanya :”Kenapa?”
Syaikh Al Albani : “Apakah kamu menemukan dari mereka yang telah kita sebutkan tadi, akan mengatakan ,’kami adalah adalah muslim yang tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah?’ atau seorang dari mereka berkata “Saya seorang Muslim tetapi tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah?”
Maka selanjutnya Syaikh Al Albani menjelaskan dengan jelas akan pentingnya berada di atas Al Qur’an dan As Sunnah dan memahami di atas cahaya (pemahaman) Salafush Shalih (pendahulu yang sholih).
Penanya : “Kalau begitu, saya akan menyatakan bahwa saya adalah muslim yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salafus Shalih
Syaikh Al Albani : “Jika seseorang bertanya padamu tentang madzhabmu, apakah ini yang akan kamu katakan?”
Penanya : “Ya”
Syaikh Al Albani : “Bagaimana pendapatmu, bila kita menyingkat kalimat ini dalam pembicaran (Muslim yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salafus Shalih), yang lebih ringkas dan menunjukkan makna dengan ‘Salafi’”. (Selesai penukilan)
Maka intisari dari percakapan itu adalah penamaan muslim atau sunni tidaklah cukup, sebab semua orang akan menyatakan demikian.
Dan Imam Al Albani telah menekankan pentingnya Al Haq untuk membedakan diri dari kebathilan, dengan berdasarkan pada aqidah dan manhaj, yang diambil dari Salafus Shalih, yang merupakan lawan dari macam-macam firqah dan hizbi yang memahami Dien ini dengan berdasarkan pada pemikiran guru-guru mereka atau pemimpin-pemimpin mereka dan tidaklah mereka mengambilnya dariSalaf-secara mendasar -. http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=23. Kini jelas sudah penisbatan salafi dan al-atsari memiliki dasar jelas, disisi lain ternyata pimpinan MMI, pewaris aqidah DI/TII/NII, Abu Bakar Ba’asyir membuat istilah ‘MMI’, Allah-krasi sebagai tandingan Demokrasi dalam acara di masjid Muhajirin, Malang. Sungguh aneh, Ba’asyir berulah, salafi terkena getah, inikah jurus maling teriak maling?
[7]              Sangat disayangkan, definisi dan penjabaran panjang lebar dari kitab-kitab yang jelas-jelas memakai judul ‘salaf’ tidak dapat dimengerti oleh yang bersangkutan. ٍSilakan pembaca menyimak footnote sebelumnya untuk lebih jelasnya.
[8]              Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa 4/155). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar ahlul bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa 4/155). Kemudian berkata lagi (4/156) : “Adapun (anggapan) ajaran Salaf termasuk menjadi syi’ar Ahlul Bid’ah maka itu satu kebatilan karena hal itu tidak mungkin kecuali ketika kebodohan merajalela dan ilmu sedikit”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa 4/149 : “Tidak ada celanya atas orang yang menampakkan manhaj Salaf, menisbatkan kepadanya dan bangga dengannya, bahkan pernyataan itu wajib diterima menurut kesepakatan Ulama, karena madzhab Salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=179
[9]              Penamaan Ikhwanul Muslimin adalah penamaan yang dipilih mereka sendiri, oleh Hasan Al Banna pendirinya.
[10]              Kita tidak yakin kalau dia sedang menasehati jamaah-jamaah hizbiyyah yang memerangi kaum Muslimin di Kunar dan mempersaudarakan agama-agama Samawi, karena dia menulis buku-bukunya justru dalam rangka membelanya dari bantahan dan nasehat Salafiyun kepada mereka.
                Adapun Salafiyun, mereka menyambut gembira manhajSalaf dan Syaikhul Islam serta orang-orang yang berada di atas jalannya dari kalangan Ahlus Sunnah. Tetapi … apakah berarti dengan berhenti membantah ahlul bid’ah?
                Kita dengar jawaban Syaikh Rabi’ tentang hal ini : “Salafiyun akan berkata : ‘Marhaban (selamat datang) manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sebenarnya. Karena sesungguhnya mereka tidak menginginkan pengganti selain itu. Diantara dasar-dasar manhaj ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi < ?xml:namespace prefix = st1 ns = “urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags” />Wa Sallam :
                “Tidak seorang nabi pun yang Allah utus pada satu umat sebelumku, kecuali memiliki dari umatnya para penolong shahabat-shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian sesungguhnya akan datang setelah mereka generasi yang mengucapkan apa-apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa memerangi (jihad) mereka dengan tangannya maka dia mukmin, barangsiapa memerangi mereka dengan lisannya maka dia mukmin, dan barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya maka dia mukmin … .” (HR. Muslim dalam Kitab Al Iman hadits nomor 80 juz I halaman 69-70)
                Dan firman Allah  :
   كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
                 “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah … .” (Ali Imran : 110)
                Sedangkan bid’ah, apalagi syirik dan kekufuran termasuk dalam kemungkaran tersebut. Adapun ma’ruf yang paling puncak adalah tauhid. Akan tetapi Salafiyin tidak mengkafirkan seseorang kecuali setelah ditegakkan hujjah.
                Ingatlah bagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu memukul Shabiegh dan mengasingkannya.
                Ingatlah bagaimana Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berlepas diri dari Qadariyyah.
                Ingatlah pembunuhan yang dilakukan Ali radhiyallahu’anhu dan para shahabat ridwanullah alaihim ajma’in terhadap Khawarij dengan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Banyak hadits-hadits dalam masalah ini yang diriwayatkan oleh para imam di antaranya Imam Bukhari dan Muslim rahimahumallah.
                Ingatlah pula sikap Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu dan Abu Musa radhiyallahu’anhu terhadap halaqah-halaqah dzikir dan orang-orang yang bertasbih dengan kerikil.
                Bacalah kitab Khalqu Af’ali ‘Ibad oleh Bukhari rahimahullah, kitab As Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad rahimahullah, As Sunnah oleh Al Khallal rahimahullah yang disusun di dalamnya ucapan-ucapan Imam Ahmad rahimahullah dan ulama Salaf.
                Baca pula Asy Syari’ah oleh Al Ajurri rahimahullah , Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah oleh Al Lalikai rahimahullah, dua kitab Ibanah oleh Ibnu Baththah rahimahullah (Kubra dan Shugra), Ushul I’tiqad oleh Abu Hatim rahimahullah dan Abu Zur’ah rahimahullah dan kitab Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, Mukadimah Syarhus Sunnah oleh Al Baghawi rahimahullah dan banyak lagi yang lainnya.
                Baca pula kitab-kitab Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Ibnul Qayyim rahimahullah dan Ibnu Abdul Wahhab rahimahullah dengan tolok ukurSalafi dan jangan dengan tolok ukur politik dan perasaan semata.
                Engkau akan dapatkan bahwa Salafiyun telah mengambil manhaj sunni Salafi yang hakiki ini.
                Aku ingin memberikan untuk anda hadiah yang berharga yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah yang merupakan ‘petir’ bagi ahlul bid’ah dan para pembelanya.
                Al Baghawi rahimahullah dalam Mukadimah Syarhus Sunnah bab Mujanabatu Ahlil Ahwa’ (Menjauhkan Ahlul Ahwa/Ahlul Bid’ah) membawakan ayat-ayat, hadits-hadits, dan atsar-atsar di dalam bab ini tentang celaan terhadap ahlul bid’ah. Di dalamnya terhadap banyak nukilan di antaranya pengkafiran dan penyesatan (menganggap sesat) terhadap beberapa ahlul bid’ah (seperti Rafidlah dan Jahmiyah, pent.) … hingga dia berkata :
                “Telah berlalu para shahabat, tabi’in, para pengikut mereka, dan ulama-ulama sunnah atas yang demikian, bersatu dan bersepakat atas permusuhan dan pemboikotan terhadap ahlul bid’ah.” (Syarhus Sunnah juz I halaman 227)
                Demikianlah Al Baghawi rahimahullah menyebutkan kepada kita bahwa para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in bersatu dan sepakat atas permusuhan terhadap ahlul bid’ah dan pemboikotan mereka. Maka apakah engkau (wahai Abdurrahman Abdul Khaliq) menerima nasehat ini dan percaya dengan nukilan ini sebagaimana Salafiyin menerima dan membenarkannya?” (Jamaah Wahidah halaman 80-82)
                Dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) juga menyandarkan pendapatnya kepada Syaikhul Islam rahimahullah bahwa kita hanya memusuhi orang-orang kafir.
                Maka bandingkanlah dengan ucapan Syaikhul Islam berikut :
                “Seorang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, hingga Yahya bin Yahya berkata : ‘Pembelaan terhadap sunnah lebih baik daripada jihad’.” (Naqdul Mantiq halaman 12)
                Kita katakan : Layakkah para pembela Ahlus Sunnah yang membantah ahlul bid’ah dijuluki dengan pencela, pencaci, jelek akhlaqnya dan lain-lain? Atau apakah mereka pantas dikatakan mencela para ulama?
                Lihatlah pula ucapan Syaikhul Islam yang lain, yaitu beliau rahimahullah berkata setelah menjelaskan secara ringkas siapa yang boleh di-jarh (dicela) dan yang boleh diterangkan keadaannya, bahkan dianggap sebagai nasehat : “Nasehat wajib dalam maslahat-maslahat dien yang khusus dan yang umum, seperti :
1.                        Para penukil-penukil hadits yang keliru atau berdusta. Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Said rahimahullah: “Saya bertanya kepada Imam Malik, Ats Tsauri, Al Laits Ibnu Sa’ad, dan aku kira juga Al Auza’i tentang seseorang  yang tertuduh dalam masalah hadits dan tidak hafal? Mereka semua menjawab : “Terangkan keadaannya!”
                Berkata sebagian mereka kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal rahimahullah : “Berat atasku untuk mengatakan fulan seperti ini, fulan seperti itu?” Maka berkata Imam Ahmad rahimahullah:
                “Kalau engkau diam dan aku diam, maka kapan seorang bodoh akan tahu yang shahih.”
2.                        Para tokoh ahlul bid’ah dari golongan yang memiliki ucapan-ucapa yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, juga ahlul ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah.
                Maka sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum Muslimin. Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad : “(Apakah) seseorang berpuasa, shalat, i’tikaf, maka hanya untuk dirinya, sedangkan jika dia berbicara terhadap ahlul bid’ah, maka itu untuk kaum Muslimin. Inilah yang lebih afdhal.”
                Maka ketika manfaatnya umum bagi kaum Muslimin dalam dien mereka, dia termasuk jihad fie sabilillah. Karena pembersihan jalan Allah, dien, manhaj, dan Syari’at-Nya serta penolakan terhadap penyelewengan mereka (ahlul bid’ah) dan permusuhan terhadap mereka adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum Muslimin.
                Kalaulah tidak ada orang-orang yang Allah tegakkan untuk menolak kejelekan-kejelekan mereka, maka akan rusaklah dien dan kerusakan ini lebih besar daripada rusaknya penjajahan musuh yang memerangi. Karena jika mereka menguasai/menjajah tidak akan merusak hati dan apa yang ada di dalamnya dari dien secara langsung, tetapi mengikut.
                Adapun mereka (ahlul bid’ah) merusak hati secara langsung. (Majmu’ur Rasail wal Masail 5/110)
[11]            Kalaulah pembicara ini ilmiyyah, tentu pernyataan-pernyataannya didukung dan diperkuat dengan data dan fakta yang diungkapkannya. Dalam masalah apakah Haiah Kibarul Ulama  berbeda dengan Syaikh Rabi’? Dalam masalah apakah Syaikh Bin Bazz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Al-Albani rahimahumullahu  berbeda pendapat dengan Syaikh Rabi’, sehingga ‘salafi ekstrem bikinanmu’ lebih memilih pendapat Syaikh Rabi”? Kenapa sang pembicara hanya memberikan pernyataan-pernyataan belaka tanpa fakta dan data? Faktor apakah yang mengharuskan kami mempercayai ucapatan yang sepi dari bukti ini? Kenapa dirimu tidak jujur ketika menyebutkan Kitab yang ditulis oleh Syaikh Rabi’ yang berjudul Jama’ah Wahidah? Kenapa tidak engkau jelaskan kepada umat bahwa di kitab tersebut telah disertakan pula bukti-bukti dukungan para Masyayikh di atas terhadap manhaj yang ditempuh oleh Syaikh Rabi’? Kenapa tidak engkau sebutkan pula nama-nama masyayikh dengan rinci bahwa Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan-lah yang memberikan kata pengantar kitab tersebut? Juga rekomendasi yang diberikan oleh Syaikh Al-Albani rahimahulllah? Syaikh Muhammad Abdul Wahhab Marzuq Al-Banna? Dan kenapa pula tidak engkau sebutkan bahwa di kitab beliau lainnya (An-Nasrul ‘Aziz ‘ala Raddul Wajiz, Hiwar ma’a Abdurrahman Abdul Khaliq yang engkau puji-puji tersebut, dicetak tahun 1417H-1996). Alangkah tragisnya bahwa para masyayikh rahimahumullahu jami’an anda kesankan bertikai dengan Syaikh Rabi’ hafidhahullah, namun justru terbukti masyayikh mendukung manhaj beliau.
                Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz rahimahullah
                Al-Muhaddits Al-Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
                Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
                Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Abdullah As-Subayil
                Fadhilatusy Syaikh Abdul Aziz Muhammad Sulaiman
                Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Marzuq Albana
                Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi
                Fadhilatusy Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali
                Fadhilatusy Syaikh Al-Ustadz Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir Al-Faqihi
                Fadhilatusy Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi.
                Wahai ust. Abduh ZA, sungguh sangat menyedihkan bahwa tutur bahasa engkau yang sopan nan bijak ternyata tidak mampu menyembunyikan apa yang ada di dalam dada dari kebencianmu terhadap para masyayikh Salafiyyin. . Cukuplah upaya adu dombamu diantara para masyayikh adalah bukti keanehan “dakwah lemah lembutmu”. Walaupun engkau seolah-olah menghormati Hai’ah Kibarul Ulama, adakah salafiyyin yang tertipu dengan prinsip Ikhwanimu? Lebih-lebih lagi analisa su’udzonmu tentang mengapa Syaikh Rabi’ tidak masuk menjadi anggota Hai’ah Kibarul Ulama, padahal beliau termasuk yang memiliki umur lebih tua. Mengapa analisamu berhenti hanya kepada Syaikh Rabi’ semata? Padahal di luar beliau juga banyak masyayikh yang cukup berumur dan berilmu? Kenapa tidak engkau lanjutkan untuk mengembangkan prasangka burukmu kepada Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr, Syaikh Muhammad Al-Banna, Syaikh Ahmad bin Yahya an Najmi hafidhahumullah? Dan beberapa Masyayikh lainnya yang tidak masuk di dalam Hai’ah Kibarul Ulama. Rupanya engkau hendak menggiring umat dengan opini dan ambisi kekuasaan ala parpol Ikhwanul Muslimin, bahwa para masyayikh tersebut bermasalah, sehingga tidak bisa masuk menjadi anggota Haiah Kibarul Ulama. Bagaimana mungkin engkau hendak menumbangkan salafiyyun dengan bahasa, analisa dan naluri partai politik kekuasaan Ikhwanul Muslimin, wahai saudara Abduh? Seolah-olah Haiah Kibarul Ulama adalah kursi kekuasaan yang mesti direbut dan dikuasai. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
                Setelah terbongkar taktik adu domba devide et impera yang hendak engkau terapkan, pecah-belah sesama ulama Ahlus Sunnah,  sekarang apa komentar kalian wahai Pustaka Kautsar, Abduh Zulfidar Akaha dan para jajaran pendukung engkau terhadap dukungan para masyayikh di atas bagi manhaj dakwah yang sedang ditempuh oleh Syaikh Rabi’?
[12]              Nah, disinilah tampaknya saudara Abduh semakin terjebak oleh penelitiannya sendiri yang ternyata kurang teliti. Ingat ucapannya terdahulu : ”Bahkan para ulama pada masa lalu tidak ada yang menisbatkan namanya itu sebagai as-salafi, atsari tidak ada”. Itukah  hasil penelitian anda selama ini, yang nampak diwarnai oleh subyektifitas pemikiran ala Ikhwanul Muslimin, adapun kenyataannya? Simak kalimat al-Imam Adz-Dzahabi sendiri yang anda katakan –dengan tidak hati-hati – “…tidak menyuarakan as-salafi dalam kitab-kitab mereka, Ibnu Katsir, Ibnul Qayyim, termasuk yang…dan Imam Adz-Dzahabi:
                “Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan:”Telah disepakati bahwa ini merupakan aqidah seorang Salafi yang baik” (Al-Munadzarat, Syaikh Salim Al-Hilali, hal.147)
                Adz-Dzahabi rahimahullah sendiri juga menyebutkan penisbatan al-Atsari di dalam Mu’jamul Mukhtash bil Muhadditsin hal. 199 tentang Yusuf bin Muhammad al-Haurani rahimahullah : ”Dia adalah seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, sunni, atsari, shalih, qana’ah dan menjaga diri.”
                Berkata As-Sam’ani rahimahullah di dalam Al-Anshab (1/84) : ”Al-Atsari dengan huruf alif difathhahkan dan tsa’-nya dan ra’ di akhirnya ini adalah nisbah kepada al-atsar yakni al-hadits. Pada upaya mencari dan mengikutinya. Tersohor dengan penisbatan ini adalah Abubakar Sa’ad bin Abdillah al-Atsari Ath-Thusi.”
                Dan terakhir kami katakan kepadamu untuk meruntuhkan berbagai tuduhan keliru yang engkau nisbatkan kepada As-Salaf dan As-Salafi:  Berkata Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah:”Ciri ahli bid’ah adalah memusuhi ahli atsar”. ”(Atsar Shahih. Diriwayatkan Al-Lalika’i dalam al-I’tiqad (2/279) dan Ash-Shabuni dalam al-I’tiqad (hal.118) dengan sanad yang shahih)
                Lagi-lagi engkau harus menemukan kenyataan pahit dari hasil penelitian tersebut tidak valid. Semoga Allah memberikan petunjuk kepadamu dan kepada kita semuanya.
[13]           Pembaca yang budiman, saling melindungi, saling merekomendasikan, adalah bahasa badan yang menunjukkan kesamaan visinya. Baik antara Abduh ZA dan Muhammad Arifin Badri Lc., MA,  Muhammad mengucapkan pada artikel ke 176 dari situs LBIA : ”…untuk lebih jelasnya silahkan baca sebuah buku berjudul: Bila Kyai Dipertuhankan, oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha hal: 265.” Maka tak heran bila ada “politik balas budi” yang dilancarkan oleh Abduh dengan menyatakan ‘salafy moderat’.
                Abduh Zulfidar Akaha melalui bukunya “Siapa Teroris? Siapa Khawarij?” berkata: “Meskipun sebagian kalangan salafi terbiasa dengan gelaran-gelaran buruk yang tidak berdasar semacam ini, sebagian dari mereka menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat lumrah. Bahkan bisa jadi sebagian dari mereka menganggap gelaran-gelaran tersebut memang sudah seharusnya untuk diberikan dan mereka anggap sebagai ibadah (?). Akan tetapi, ketika Ustadz Abu Abdirrahman Al Thalibi dalam bukunya (Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak) membagi salafi menjadi dua, yakni Salafi Yamani dan Salafi Haraki, banyak diantara mereka yang tidak terima. Mereka menganggapnya sebagai bid’ah, sangat tidak ilmiyah, dan tidak obyektif. Hal ini bisa anda temukan dari jawaban moderator – LBIA – ketika memberikan pandangannya terhadap buku “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak.” Diantara yang dikatakan moderator situs ini yaitu, “Kami (muslim.or.id) berlepas diri dari buku tersebut!! Dan kami nasehatkan kepada saudara-saudara kami agar tidak termakan oleh buku tersebut.” (Huruf tebal dan italic asli dari moderator muslim.or.id) Bahkan, salah seorang aktifis salafi bernama Abu Fauzan tertanggal 9 maret 2006 jam 17:03 menyuruh membakar buku tersebut jika sudah terlanjur memilikinya. Abu Fauzan mengatakan, “Bukunya si Abu Abdirrahman Al Thalibi memang tak ilmiyah sama sekali. Masa IM, HT bukan neo-khawarij, padahal suka demo sama sini. Saya setuju dengan akh moderator agar menjauhi buku itu. Kalau antum rahimakumullah sudah punya bakar saja bukunya karena memang tak ilmiyah sama sekali, hanya berdasarkan otaknya dia dan perasaannya dia.” Lihat http://muslim.or.id/?p=284.
                Saudaraku, anda sekalian telah menyaksikan ketegasan dan kegarangan mereka untuk membakar buku Dakwah Bijak-nya Al Thalibi yang sangat dipuji sebagai “laris bak kacang goreng” oleh Abduh ZA. Apakah bapak Abduh marah dan murka kepada LBIA dan simpatisannya, sebagaimana marahnya dia dengan buku Mereka Adalah Teroris!-nya ustadz Luqman Ba’abduh? Inilah komentarnya terhadap ajakan “pembakaran buku” tersebut:
                Namun demikian, menurut kami, situs ini jauh lebih santun dan akomodatif daripada situs milik kalangan Salafi Yamani. Kami menaruh respek terhadap situs ini. Insya Allah mereka adalah kaum salafiyyin tulen tanpa embel-embel “Yamani” di belakangnya.” (Siapa Teroris?…, footnote no.134, hal.78, Pustaka Al-Kautsar, cetakan pertama, Juni 2006)
Abduh ZA. Berkata : ”Hanya saja yang membedakan adalah bahwa Ikhwanul Muslimin menerima perbedaan pendapat yang terjadi antara salaf dan khalaf” (ibid, hal.89)
                Kita katakan :” Walaupun Abduh dan jaringannya sudah disikapi sedemikian tegas dan kerasnya dengan “instruksi” pembakaran buku kelompoknya, ternyata yang tidak terduga adalah dia masih pula ingat siapa lawan dan siapa pula ……kawan seperjuangan.  Subhanallah, sedikit kata-kata tegas Salafiyyin sudah divonisnya sebagai “merasa benar sendiri, yang lainnya sesat, ahli bid’ah, dan ucapan sumbang lainnya.  Adapun ajakan untuk membakar buku teman semanhajnya yang dilontarkan oleh anak buah Muhammad Arifin yang telah mentazkiyahnya? Jauh lebih santun!!! Amboi alangkah ….persaudaraan ini.Wallahul musta’an.
[14]              Lalu bagaimana dengan golongan ekstrem, ulama engkau, Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq  yang mencela ulama-ulama Madinah dengan pimpinannya, Syaikh al-Imam Muhammad Amin Asy-Syinqithi dengan julukan ‘cetakan lama’, ‘Salafi taqlid’, ‘muhannathin yang hidup dengan jasad-jasad mereka di jaman ini, tapi hidup dengan akal-akal mereka di masa lampau’, dan lain-lain dari julukan yang dituduhkan kepada para ulama Ahlus Sunnah yang mendakwahkan tauhid dan sunnah?
                Apakah harakiyyun yang menamakan Syaikh bin Baaz dan para ulama di Saudi dengan ‘pegawai’, ‘spionase’, ‘yang hanya mengerti qusyur (kulit) Islam’, ‘ulama haid dan nifas’ atau seperti yang diucapkan oleh Muhammad Surur : “Budak dari budak dari budak dari budak dan tuan mereka yang terakhir Nashrani (Majalah As-Sunnah, no.23, hal.29-30)”
                Berkata Syaikh Rabi’ : “Jangan engkau berpura-pura bodoh dengan apa yang ditulis oleh Muhammad Al Ghazali dalam beberapa kitabnya dari celaan dan pengkaburan terhadap Ahlus Sunnah dan Ahlul Hadits yang dulu dan sekarang. Jangan pula kau lupa dengan apa yang ditulis oleh At Tilmitsani terhadap Ahlus Sunnah dengan menjelekkan dan mencela mereka. Jangan lupa dengan apa yang ditulis oleh Said Ramadhan Al Buthi, Said Hawwa, Abu Ghaddah, ‘Izzudin Ibrahim, dan seluruh tokoh-tokoh ikhwani yang memuji Rafidlah (Syi’ah)  dan apa yang ditebarkan oleh tokoh-tokoh Quthbiyyah dari fitnah-fitnah dan gerakan-gerakan pencelaan yang dhalim dan kebohongan-kebohongan yang dibuat-buat terhadap Ahlus Sunnah. Jangan lupa pula apa yang ditulis oleh Sayyid Quthub dan celaannya terhadap para shahabat serta pengkafirannya terhadap Bani Umayyah, khususnya atas khalifah yang lurus Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu dengan menjatuhkan kekhilafahannya dan anggapannya bahwa ruh dan dasar-dasar Islam telah runtuh di jamannya serta pengunggulannya bagi murid-murid Ibnu Saba’ atasnya (Utsman bin Affan). Jangan lupa pula terhadap tulisan mufti Oman dan celaannya terhadap Ahlus Sunnah yang sebenarnya, dan celaannya terhadap shahabat bersama persaksiannya terhadap celaan Sayyid Quthub dan Maududi (dalam bukunya Khilafah dan Kerajaan, pent.)….
                Kalau engkau merasa sakit dan gelisah dengan celaan-celaan yang dhalim dan jahat terhadap Ahlus Sunnah tersebut, maka berarti dirimu berada di atas kebenaran.  Tetapi sangat disayangkan, engkau jauh dari apa yang saya sebutkan tadi. Dan sesungguhnya yang engkau inginkan (dengan ucapanmu) adalah Salafiyin. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. (Jamaah Wahidah halaman 80)
[15]              Inilah tuduhan yang jahat lagi buruk. Dan lihatlah wahai saudaraku bahwa berbagai serangan keji yang dilancarkan oleh pemandu acara, Abduh ZA dan Halawi Makmun sama sekali tidak dibantah oleh Abdullah Hadrami, sementara dia mengaku sebagai da’I salafi yang 4 tahun bermulazamah kepada Syaikh Utsaimin rahimahullah, bahkan diapun turut memberikan kontribusi besar dalam ‘peperangan’ ini.
[16]              Sebagaimana yang dijelaskan oleh para Masyayikh, lebih tepat jika kita menyebut mereka sebagai Yahudi, anak cucu kera dan babi, dan bukannya menyebut mereka sebagai Israel/Israil karena ini adalah nama lain dari Nabiyullah Ya’qub ‘alaihissalam. Pantaskah kita menisbatkan berbagai jenis kejahatan dan kebiadaban kepada Nabi Israil, Ya’qub ‘alaihis salam?
[17]              Benarkah pernyataan ini, perlu dirinci buktinya. Kalaupun benar, walhamdulillah ulama kita mengajari ‘celaan lebih didahulukan daripada pujian’. Cukup banyak celaan para ulama tentang Ikhwanul Muslimin, baik karena kekeliruan manhaj pembesarnya, maupun dalam rilis resminya.
[18]              Alangkah “manisnya” bahwa menurut pemilik Iskatu Kalbun Awi yakni Al-Qaradhawi sendirilah yang mengakui pemikiran takfir Sayyid Quthb (dan beliau ini adalah salah satu tokoh Takfiri-Ikhwani yang dikagumi dan dibela dengan gigihnya oleh Abduh ZA).  Al-Qaradhawi berkata:”Pada fase ini telah muncul buku-buku tulisan Sayyid Quthb yang merupakan pemikiran terakhirnya, yaitu pengkafiran masyarakat dan…, yang demikian itu nampak jelas dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an cetakan ke-2, Ma’alim fith Thariq yang kebanyakannya diambil dari Azh-Zhilal dan Al-Islam wa Musykilatul Hadharah dan sebagainya” (Aulawiyyatul Harakah Al-Islamiyyah, hal.110. dinukil dari Adhwa’ Islamiyyah, hal.102)
[19]              Wahai bapak Abduh ZA, setelah strategi pertama mempertentangkan diantara para ulama Ahlus Sunnah gagal, engkau masih juga hendak mencoba untuk mengadu-domba lagi ? Tunjukkanlah bukti dan hujjah ilmiyyah engkau bahwa Syaikh Bin Bazz dan Syaikh Utsaimin rahimahumallah tidak sependapat dengan Syaikh Rabi’. Kenapa engkau hanya bisa berkata-kata? Apakah dirimu merasa sakit hati kepada Syaikh Bin Bazz setelah keluar fatwa terakhir beliau tentang firqah Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh, yang tidak sesuai dengan harapan engkau? Apakah diri anda merasa terpukul dengan dukungan para Masyayikh seperti Syaikh Bin Bazz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Utsaimin, dan Kibar Masyayikh lainnya terhadap kelurusan manhaj Syaikh Muqbil rahimahullah dan Syaikh Rabi’ hafidhahullah? Bukankah dirimu bisa dengan rinci menyebut nama kitab hasil karya Syaikh Rabi’ hafidhahullah? Kenapa pula tidak engkau sebutkan nama-nama para ulama yang merekomendasikan buku beliau yang tertulis dengan jelas di dalam kitab tersebut? Sungguh upaya adu dombamu kini kandas. Syaikh Bin Bazz tidaklah seperti gambaran fitnah engkau terhadap Syaikh Rabi’, beliau justru merekomendasikan kepada umat terhadap buku Syaikh Rabi (yang engkau katakan keras, kasar, mulutnya tajam dan sejenisnya) yang berjudul Manhaj Ahlus Sunnah fi Naqdir Rijal. Bagaimana engkau katakan bahwa beliau sangat usil terhadap tokoh anda, sementara Syaikh Bin Bazz sendiri justru mendukung dan merekomendasikan kitab beliau tersebut untuk membeberkan tokoh-tokoh anda itu. Bahkan tanda bukti keridhaan Syaikh Bin Bazz adalah di akhir-akhir hayat beliau, Syaikh Rabi’ beliau ijinkan untuk mengisi di masjid beliau rahimahullah. Sekali lagi, bahkan tanda keridhaan umat terhadap Syaikh Rabi’ hafidhahullah adalah fatwa beliau yang menyingkap tipu daya dua hizbusy-syaithan  dalam kasus Libanon, Hizbur-Rafidhah dan Yahudi laknatullah, dalam ambisi mereka untuk menghabisi warga Libanon. Dimana fatwa itu beliau sampaikan? Di acara Daurah Syaikh Bin Bazz ! Adapun Syaikh Utsaimin rahimahullah, ketika beliau ditanya tentang Syaikh Rabi’, justru beliau balik mempersilakan si penanya untuk bertanya kepada Syaikh Rabi’ tentang beliau. Lihatlah wahai Abduh, betapa para masyayikh Salafiyyin ternyata saling kasih-mengasihi dan saling menyayangi diantara mereka. Adapun terhadap hizbiyyun dkk, sikap merekapun sama, memperingatkan umat dari kesesatan firqah, baik Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh. Anehnya, anda justru menyatakan bahwa para masyayikh di atas “berubah pikiran” setelah perang Teluk. Engkau hendak memuji Ha’iah Kibarul Ulama atau berubah pikiran dengan mengadu-domba dan melecehkannya ?!
                Kalau salafiyyin saja engkau juluki sebagai salafi ekstrem, lalu apa julukan dan sebutan yang tepat bagi ulama junjunganmu yang engkau bela mati-matian dalam bukumu itu – semacam Sayyid Quthb – yang jelas-jelas mengkafirkan kaum muslimin yang diluar golonganmu,  Ikhwanul Muslimin? Ghulat-Ikhwani? Takfiri nampaknya merupakan nama yang cukup mewakili untuk vonis pengkafirannya terhadap kaum muslimin selain Ikhwanul Muslimin. Buruk muka kaca yang dipecah?
[20]              Saudaraku, perhatikan ucapan lulusan S2 Universitas Malik Su’ud ini yang menjadi ketua Penerapan Syari’at Islam MMI yang semodel dengan NII, DI/TII.
[21]              Kenapa diri anda tidak langsung saja memberikan contoh-contoh bukti “orang badung yang nggak ngerti, asal ada kata kafir langsung ditotalkan semua orang itu kafir selain kelompoknya” ? Kami bantu menyebutkan namanya sekaligus mengumpulkan bukti perbuatannya:
                Dari dalam negeri dulu, jangan bosan kalau kami sebut nama para teroris seperti Imam Samudra. Di dalam buku kebanggaannya, Aku Adalah Teroris, dia berkata:
                “23 mei 1924, mercusuar terakhir, benteng terakhir umat Islam tumbang sudah…Saat Khilafah Islamiyyah musnah, dunia kembali ke zaman jahiliyah” (Aku Adalah Teroris, hal. 89-90)
                “Vonisnya terhadap pemerintah Indonesia sebagai pemerintah kafir (semoga Abdullah Hadrami dapat menyadari konsekwensi vonis ini):
                “Hukum di Indonesia tak ada bedanya dengan hukum Ilyasiq, yaitu hukum yang berlaku di zaman Jenghis-Khan”
                Sebagaimana Halawi Makmun “memvonis” salafiyyin sebagai jahiliyyah, saudara semanhajnya (Imam Samudrapun) menghukumi pemerintah Indonesia di atas jalan jahiliyyah dan dirinya sendiri (dan kelompoknya) saja yang Islam:“Aku di jalan Islam, di jalan Allah, sedangkan mereka di atas jalan jahiliyyah, di jalan Neo-Ilyasiq, atau clone (kembaran) Ilyasiq
                Mereka wajib menyesal karena hidup di atas jalan yang salah, mereka hidup dalam way of life yang sesat, jalan hidup jahiliyyah…..Adapun aku –Alhamdulillah, dengan hidayah dan rahmat Allah aku berada di dalam Islam Hidup di atas Islam….lalu…siapakah yang pantas takut, akukah? Atau mereka itu para penegak hukum kafir?” Imam Samudra (lagi-lagi) memvonis musyrik kepada pemerintah secara keseluruhan, tanpa kecuali.
                “Tetapi manusia, makhluk Allah yang zhalim, bodoh lagi lemah, malah membuat way of life sendiri, menandingi hukum Allah dengan hukum buatannya sendiri. Sesungguhnya manusia itu amat dzhalim dan amat bodoh. (Al-Ahzab:72). Tetapi mereka angkuh lagi musyrik, “Manusia dijadikan bersifat lemah” (An-Nisa8:28)…Di Indonesia, dimana-mana, banyak kita temukan tipe manusia seperti itu. Bahkan jumlah mereka mayoritas. Mereka telah menyekutukan hukum Allah dengan hukum made-in gado-gado.” (Lihat pernyataan-pernyataan di atas di bukunya, hal.199-201)
                Selanjutnya dengan mantap dia kafirkan polisi :
                “Kini giliran mereka -orang-orang kafir dan dzalim itu- membungkus seluruh muka kami sebegitu rupa” (ibid, hal.269).
                Dan sekarang giliran nama dan bukti ucapan tokoh internasional kalian, wahai Halawi dan Abduh :
                Sayyid Quthb berkata (ketika melenyapkan umat Islam): “Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di permukaan bumi. Dan keberadaan Islampun telah berhenti…” (Hadhirul Islam wa Mustaqbaluh)
                “…sesungguhnya keberadaan agama Islam telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam hakimiyah dalam kehidupan manusia…(al-‘Adalah, hal.183)
                Inilah sayyid Quthb yang mengkafirkan seluruh muadzin yang mengumandangkan adzan di masjid-masjid kaum muslimin: “…yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di Timur ataupun di Barat bumi ini kalimat Laailaha illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan. Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam dienullah(Fi Dzilalil Qur’an II/1057)
                Kalau seluruh Muadzin di muka bumi telah dikafirkan secara tegas oleh Sayyid Quthb, bagaimana dengan kedudukan masjid yang di sana diserukan adzan? Ma’abid Jahiliyyah , tempat peribadatan jahiliyyah! Dan fungsinya diganti dengan rumah-rumah milik anggota Ikhwanul Muslimin. Wallahul musta’an.
                “Demikian pula keadaan di zaman Fir’aun pada masa kini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara:…menghindari tempat-tempat peribatan Jahiliyyah dan menjadikan rumah-rumah “kelompok muslimin” sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat Jahiliyyah…” (ibid, III/1816)
                “…kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat Jahiliyyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengizinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan dengan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah sebagai umat islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang ada di sekitarnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki sebagai jahiliyyah dan masyarakat jahiliyyah…”(ibid, II/1125)
                Inilah solusi menurut Sayyid Quthb, yaitu menjadi Khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam dan merasa bahwa hanya dirinya dan orang-orang yang sepaham dengannya sajalah yang Muslim.
                Mungkin sebagian pembaca akan menyatakan bahwa penilaian terhadap Sayyid Quthb di atas terlalu berlebihan dan dipaksakan. Harap pembaca tidak terburu mengingkari fakta ini, karena sesungguhnya hal ini juga dibenarkan dan disaksikan tokoh-tokoh besar Ikhwanul Muslimin sendiri, diantaranya:
                ~ Yusuf Al-Qaradhawi, ia berkata:”Pada fase ini telah muncul buku-buku karya Sayyid Quthb yang merupakan pemikiran terakhirnya, yaitu pengkafiran terhadap masyarakat…, yang demikian itu nampak jelas dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an cetk. ke-2, Ma’alim Fith Thariq yang kebanyakan diambil dari Adz-Dzilal, Al-Islam wa Musykilatul Hadlarah, dsb…”(Adhwa’ Islamiyyah, hal.102)
                ~ Farid Abdul Khaliq, ia berkata:”Telah kami singgung dalam pernyataan yang lalu bahwa pemikiran takfir (dewasa ini) bermula dari sebagian pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin yang meringkuk di LP. Al-Qanathir pada akhir-akhir tahun 50-an awal-awal tahun 60-an yang mereka terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb dan karya-karya tulisnya. Mereka menimba dari karya-karya tulis tersebut bahwa masyarakat ini berada dalam kejahiliyyahan dan pemerintah-pemerintah yang ada ini kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah. Demikian pula rakyatnya karena kerelaan mereka terhadap selain hukum Allah itu” (ibid, hal.103)” [Mereka Adalah Teroris, hal.510-511].
                Maka segala hal yang berbau Ikhwani haruslah kita waspadai dan dijauhkan dari pandangan umat. Pengkafiranatas muslimin adalah sungguh sangat berbahaya. Tidaklah mereka kehendaki kecuali kekacauan dan kesengsaraan umat. Setelah itu…menggulingkan “pemerintah kafir” dan merebut “kekuasaannya” untuk kemudian diterapkan syari’at ala Ikhwanul Muslimin. Wal ‘iyadzubillah.
                Dan lihatlah wahai saudaraku cara mereka dalam upayanya menegakkan “syari’at Islam”. Menjadi pengawal demokrasi yang setia. Wanita-wanita muslimah yang sangat dilindungi dan dijaga kehormatannya oleh Dien ini telah mereka eksploitasi dan cemarkan kehormatannya, mereka gerakkan para muslimah ke jalan-jalan raya untuk berdemonstrasi, berteriak-teriak, membeberkan kesalahan dan dosa-dosa penguasa, di jalanan… Tidak lupa pula kain bertuliskan kalimat syahadat diikatkan di kepala-kepala mereka. Sungguh inilah adalah pelecehan terhadap Islam. Kita tanyakan kepada rekan da’i yang membahas ‘Pelecehan Nasional Terhadap Islam’ tersebut: Saudara-saudara semanhaj dan tokoh-tokoh idola kalian sendirilah yang terbukti memiliki pemikiran Khawarij dan terbukti pula mengkafirkan kaum muslimin, lalu kenapa Salafiyyin yang kalian tuding? Kalaulah memang buruk muka, janganlah kaca cermin yang disalahkan.
[22]              Kenapa anda demikian meradang kepada Syaikh Rabi’? Apakah karena fatwa beliau yang menyingkap kedok dan makar Hizbusy-Syaithon Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba’ Al-Yahud yang JIHADNYA bersama Yahudi – anak cucu kera dan babi –  yang berhasil  membantai masyarakat Libanon yang hendak kalian bantu, wahai Ba’asyiriyyun? Dengan berbagai fakta yang diungkapkan oleh Syaikh Rabi’ hafidhahullah tentang makar Syi’ah Rafidhah di Iraq, Afghanistan dan terakhir di Lebanon serta pengeboman-pengeboman yang dilakukan oleh saudara-saudara semanhajmu sebagaimana diakui sendiri dengan bangganya oleh Imam Samudra, bukankah ucapanmu –wahai Halawi Makmun Ketua Penerapan Syari’at NII- lebih pantas tertuju kepada kalian sendiri? Kalau Ba’asyir dan sebagainya itu kan manusia! Manusia! Yang bisa jadi mereka juga diperalat! Oleh Yahudi dan lain sebagainya! Lho kok?!
                Berkata Abu Abdillah Muhammad bin Ali Ash-Shuri rahimahullah:”katakanlah kepada orang yang menentang hadits dan berpagi-pagi mencela orang-orangnya dan orang yang menisbatkan diri kepadanya. Apakah dengan ilmu atau dengan kejahilan kamu mengatakan bahwa ini adalah anakku, sedangkan kejahilan itu perangi orang dungu? Apakah dicela orang-orang yang telah menjaga agama dari penyimpangan dan penyelewengan dan kepada ucapan yang telah mereka riwayatkan (tempat) kembalinya semua orang yang alim lagi faqih? (Syarfu Ashhabil Hadits, Al-Khatib, hal.142)
                Wahai Abdullah Hadrami, bukankah engkau yang mengaku diri sebagai salafi mendengarkan langsung tuduhan buruk dari tokoh MMI alias NII yang duduk persis di sebelah kiri anda? Dan bukankah sampai berakhirnya acara mungkar ini, terbukti engkau sama sekali tidak tergerak untuk mengingkarinya? Lalu apa gunanya anda mengaku-ngaku sebagai murid salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah, sementara anda mencukupkan diri dengan membisu demi menyaksikan salafiyyah dan dakwahnya dibantai di depan mata? Inikah akhlaq mulia yang dimiliki oleh seorang salafi yang memiliki kecemburuan terhadap agama dan ulama’nya?!
[23]                Bukan hanya fitnah ‘seakan-akan’ ada teroris, wahai Halawi Makmun…Tetapi benar-benar darah kaum Muslimin telah ditumpahkan oleh aksi-aksi biadab “saudara” anda. Insya Allah, pembaca yang budiman dapat menyimak Fatwa Hai’ah Kibarul Ulama tentang Bom Bunuh Diri pada footnote yang akan datang sebagai jawabannya.
[24]              Sekali lagi kita katakan, bukankah anda sekalian wahai Ba’asyiriyyun sudah membulatkan tekad hendak berjuang bahu-membahu mengirimkan pasukan membela ‘Hizbullah’ di Libanon yang ternyata Syi’ah Rafidlah alias Hizbusy-Syaithon anak cucu Abdullah bin Saba’ Al-Yahud? Kenapa salafiyyin yang engkau hubung-hubungkan dengan manuver  kalian bersama keturunan Yahudi itu?
[25]              Dan sekarang lihatlah wahai saudaraku sekalian, betapa miripnya kalimat “jahiliyyah” dari Halawi Makmun sang pembesar MMI dengan saudaranya “semanhaj” -Imam Samudra – ketika menunjukkan pengkafirannya terhadap pemerintah: “Merekalah; mereka; dan seluruh kaki tangan pemerintahannya yang seharusnya menyesal. Mereka wajib menyesal karena telah hidup di atas jalan yang salah, mereka hidup dalam way of life yang sesat, jalan hidup jahiliyyah”. Selanjutnya dia bawakan ayat Al-Maidah:50 sebagai pembenaran. Setelah itu:
                “Hukum di Indonesia tak ada bedanya dengan hukum Ilyasiq, yaitu hukum yang berlaku di zaman Jengis-Khan…..Aku di jalan Islam, di jalan Allah, sedangkan mereka di atas jalan jahiliyyah, di jalan Neo-Ilyasiq, atau clone (kembaran) Ilyasiq…….Adapun aku –alhamdulillah- dengan hidayah dan rahmat Allah aku berada di dalam Islam. Hidup di atas Islam….lalu siapakah yang pantas takut, akukah? Atau mereka itu para penegak hukum kafir?….Maka, sampai sepersekian mikro detik sebelum hukuman mati syahid –insya Allah- itu dijalankan kepadaku, sampai saat itu pula aku tidak akan pernah menyesali Jihad Bom Bali dan jihad-Jihad Bom lainnya. Tidak pula aku memohon grasi kepada hukum kafir Neo-Ilyasiq” (Aku Seorang Teroris, hal.200-201)
                Kita tanyakan kepada Halawi Makmun: Apakah pengakuan jujur “saudara semanhajmu”  – manusia berdarah dingin  Imam Samudra ini – merupakan fitnah, seakan-akan di Indonesia (tidak perlu mengambil contoh Mekkah) itu ada teroris, lalu tentara Indonesia mengobrak-abrik, menyuruh mengejar teroris, lalu terjadi tembak-menembak, dan itu sebetulnya merupakan pikiran orang kafir?  Ini bukan hanya pikiran, wahai Halawi! Ini adalah kenyataan pengakuan saudaramu engkau sendiri sebagai pelakunya. Dan ketahuilah, dia tidak menyesal sedikitpun dengan perbuatan biadabnya. Kenapa dirimu suka lempar batu sembunyi tangan? Kalian yang melempar dan orang kafir itu pula yang kalian tuduh. Atau memang kalian diajari taktik tipu daya yang demikian ini? Kenapa harus menyalahkan orang kafirnya, sementara saudara anda sendiri telah mengaku dengan bangganya, bahkan tidak menyesal atas aksi bombingnya di negeri yang mayoritas muslim ini? Ataukah kalian berdua telah melakukan konspirasi bersama? Jawablah Wahai Halawi Makmun dan jangan hanya bisa melempar isu sembunyi tangan. Kalianlah yang berbuat dan Syaikh Rabi’ yang engkau tuduh disusupi oleh Yahudi?! Allahul Musta’an.
                Satu pertanyaan lagi, kenapa kalian yang semanhaj ini meminta didampingi pengacara ahli hukum ‘kafir neo-ilyasiq’, memohon PK (Peninjauan Kembali) kepada hukum ‘kafir neo-Ilyasiq’ ? Bukankah ini tulisan kalian sendiri? Semoga Allah menunjuki anda dan kita sekalian.
[26]              Saudaraku kaum Muslimin, lihatlah dan baca berulang-ulang ucapan Ketua Penerapan Syaria’t Islam-nya pimpinan Abu Bakar Ba’asyir, Ba’asyiriyyun ini. Keburukan telah dilemparkan atas warisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengamalkannya. Inilah bukti nyata kebencian mereka terhadap warisan kenabian dan para pewarisnya. Lalu – syari’at Islam yang mana – yang akan diterapkannya setelah Ba’asyir berhasil mengambil alih kekuasaan terhadap kaum Muslimin? Dan ‘ustadz kita’ Abdullah Hadrami yang mengaku sebagai murid Syaikh Utsaimin Rahimahullah dan bermulazamah selama 4 tahun sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya adalah salafi yang memiliki kecemburuan terhadap manhaj ini. Dan bahkan dia turut menabuh genderang peperangan terhadap Salafiyah dan dakwahnya dengan kehadirannya disana. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
[27]              Apakah jihad yang engkau maksudkan adalah pengeboman dan peledakan-peledakan di negara-negara kaum Muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh saudara-saudaramu? Bukankah hampir keseluruhannya bersanadkan ponpes Ngruki? Atau orang-orang yang dididik oleh orang-orang yang bersanad-kan Ngruki? Bagaimana mungkin kita berdiam diri sementara banyak saudara-saudara kami kaum Muslimin juga menjadi korban aksi bombing biadab tersebut? Bukankah saudaramu Imam Samudra di dalam sya’irnya juga menyerukan kepada kalian agar terus melakukan bombing? Dan jangan engkau berkelit tentang keterlibatan aktivis-aktivis MMI dalam kasus bom Bali (lihat artikel dalam bundel Badai Fitnah). Maka kalau itu yang engkau maksudkan wahai Ketua Penerapan Sya’riat NII, sungguh kami sama sekali tidak tertarik dengan ajakan mengerikan ini. Walaupun engkau kemas dengan label JIHAD.
[28]              Janganlah diri anda mengingkari kenyataan, justru dengan bombing, Yahudi tertawa karena mereka punya alasan untuk membalas dendam dan punya dalih di mata dunia. Apalah artinya mereka – akibat bombing – mati satu bus, satu atau dua gedung, diculik 1 atau 2 orang, namun Yahudi memiliki pembenaran untuk membumi-hanguskan satu kota, satu provinsi bahkan satu negara muslimin dengan alasan adanya manusia/kelompok bombing tersebut? Hasil akhirnya bisa ditebak, siapakah yang diuntungkan dalam rentetan peristiwa tersebut? Silakan pembaca menilainya.
[29]              Bagaimana mungkin Halawi beralasan  demikian (aslinya tidak mau mati), sementara bom-bom itu nyata-nyata “asli” telah dipasang dan dilekatkan di tubuh-tubuh mereka, lantas tangan mereka dan atau teman-temannya sendirilah yang memicu detonatornya ?
[30]              Apakah yang engkau maksudkan bahwa cara bom bunuh diri ini efektif untuk membikin takut dan gonjang-ganjing musuh adalah setelah aksi bombing itu sehingga berhasil membunuh 4-5 orang musuh, dan “sebagai imbalannya” puluhan bahkan ratusan muslimin yang terbunuh akibat pesawat-pesawat tempur musuh ganti membombardir desa-desa kaum muslimin? Sebagaimana yang disebutkan juga oleh saudaramu –Abduh ZA- terakhir tentang kasus Libanon, bukankah taktik yang sangat luar biasa yang dipertontonkan oleh dua hizbusy-syaithan – meminjam istilah syaikh Abdullah Ghudayyan – Hizbullah Rafidhah dan Yahudi ? Sekian desa di Libanon dapat dikuasai oleh Yahudi dan anehnya Si Yahudi mengaku “kalah perang”. Namun keanehan yang lebih besar lagi, Hizbusy-Syaithon yang telah berhasil menjadi “pemandu target” sasaran si Yahudi laknatullah, sehingga berhasil terbunuh ribuan warga Libanon, ribuan lainnya terluka dan cacat seumur hidup serta hancurnya rumah-rumah mereka, fasilitas umum dan infra struktur negeri malang tersebut. Yahudipun menganugerahi Hizbullah sebagai pemenang pertempuran karenanya. Apakah salafiyyin harus tertipu dengan semua sandiwara besar yang dipertontonkan oleh dua keturunan anak cucu kera dan babi itu? Bukankah kakek moyang pembesar Syi’ah Rafidhah adalah Abdullah bin Saba’ Al-Yahud? Ini adalah jual beli yang saling menguntungkan – wahai Laskar Mujahidin – yang telah diagendakan untuk membantu Hizbusy-Syaithon, apakah kalian juga lupa bahwa salah satu target dakwah Ikhwanul Muslimin adalah pendekatan Sunnah dengan Syi’ah? Ya, mendekatkan Sunni dengan Syiah Abdullah bin Saba’ al-Yahud keturunan babi dan kera. Wallahul musta’an
[31]              Apakah engkau sedang menceritakan keadaan saudara-saudara anda yang terkait jaringan Ngruki atau orang-orang hasil didikan orang-orang yang bersanad-kan Ngruki? Bukankah setelah melakukan bombing mereka lari menghilang, tiada berani menampakkan batang hidungnya? Lari, bersembunyi, lari dan bersembunyi? Apakah “kelinci-kelinci” seperti ini yang hendak engkau tangkap, wahai Halawi Makmun? Bukankah hal ini wujud dari sikap pemberani, penuh tanggung-jawab dan ksatria? Lalu kapan kelinci-kelinci itu bisa menerapkan syari’at NII model Ngruki tersebut jika selama hidupnya terus menjadi kejaran “para pemburu”? Allahul Musta’an.
[32]              Apakah engkau ingin tahu salah seorang yang engkau anggap suka memberikan gelar-gelar buruk semacam al-kadzdzab , wahai Abdulllah? Beliau adalah Imam Muslim rahimahullah. Dalam kitab Shahihnya al-Imam Muslim mencantumkan sebuah bab yang agung, dibawakan di dalamnya ucapan para ulama Islam tentang celaan (al-jarh) terhadap para perawi dimana dibawakan pula nama-nama mereka dalam mukadimah kitab ini. Beliau membawakan beberapa biografi dalam bab ini dengan ucapannya:”Bab penjelasan bahwa sanad termasuk bagian dari agama dan riwayat itu tidak akan terjadi (diambil) kecuali dari ats-tsiqat (orang-orang terpercaya) dan celaan terhadap para perawi dengan kesalahan yang ada pada diri mereka adalah dibolehkan –bahkan diwajibkan-. Sesungguhnya hal itu bukan termasuk ghibah yang dilarang bahkan termasuk membela syari’at yang mulia ini” beberapa riwayat yang beliau sebutkan:
                Dengan sanadnya sampai kepada Sufyan ats-Tsauri rahimahullah bahwa beliau ditanya tentang Mua’alla ar-Raazi, maka beliau menjawab, “Dia adalah pendusta (sama dengan al kadzdzab, red).”
                Dengan sanadnya sampai kepada Asy-Sya’bi rahimahullah beliau berkata, ”Telah berkata kepadaku al-Harits al-A’war al-Hamdani, dia adalah seorang pendusta
                Kemudian dengan sanadnya sampai kepada Manshur dan al-Mughirah dari Ibrahim, dia berkata:”Al-Harits seorang yang tertuduh
                Dengan sanadnya sampai kepada Ibnu ‘Aun rahimahullah, ia berkata:”Telah berkata kepada kami Ibrahim:”Hati-hatilah kalian dari Mughirah bin Sa’id dan Abu Abdurrahim, sesungguhnya kedua orang itu pendusta
                Riwayat lainnya:
                Dengan sanadnya sampai kepada Affan rahimahullah, ia berkata:”Aku telah menceritakan kepada Hammad bin Salamah rahimahullah sebuah hadits dari Shalih al-Murri, ia mengatakan:”Dusta.”
                Dan sanadnya sampai kepada Abu Dawud yakni Ath-Thayalisi rahimahullah, beliau mengatakan:”Telah berkata kepadaku Syu’bah rahimahullah, “Datanglah kepada Jarir bin Hazim dan katakan kepadanya, “Tidak halal bagimu meriwayatkan hadits dari al-Hasan bin Ammarah karena sesungguhnya dia pendusta.”
                Dengan sanadnya sampai kepada Abdurrazzaq rahimahullah, ia berkata:”Aku tidak pernah melihat Ibnul Mubarak rahimahullah fasih dengan ucapannya Kadzdzab (dusta) kecuali kepada Abdul Quddus, sesungguhnya aku mendengar beliau mengatakan kepadanya:”Kadzdzaab
                Dan riwayat yang lain : Dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah, beliau berkata:”Andai aku disuruh memilih antara masuk surga dengan berjumpa Abdullah bin Muharrah, pastilah aku akan memilih berjumpa dengannya kemudian masuk surga. Tatkala aku melihatnya, ternyata kotoran onta lebih aku sukai daripada dia.”
                Setelah penukilan tikaman-tikaman tersebut, al-Imam Muslim mengatakan:”Adapun pembahasan para ulama tentang tuduhan-tuduhan mereka terhadap para perawi hadits dan pemberitaan tentang aib serta kekurangan mereka yang srupa dengan apa yang telah kami sampaikan adalah banyak sekali, akan panjang kitab ini kalau kesemuanya mesti disebutkan. Dan apa yang telah kami singgung adalah cukup bagi siapa yang mau memahami dan memegangi madzab para ulama kaum muslimin tentang permasalahan yang mereka terangkan.
                Sesungguhnya mereka mengharuskan diri mengungkap kekurangan-kekurangan para perawi dan penukil hadits, kemudian berfatwa dengannya ketika ditanya, sebab di dalamnya terdapat bahaya yang sangat besar. Hadits termasuk perkara agama yang mengabarkan tentang penghalalan atau pengharaman sesuatu, perintah atau larangan, serta anjuran atau ancaman. Apabila seorang perawi tidak memiliki perangai yang jujur dan amanah, kemudian seseorang yang telah mengetahui siapa si perawi tersebut, meriwayatkan darinya tanpa menerangkan si perawi tersebut kepada yang lain dari orang-orang yang tidak mengenalinya –maka orang tersebut berdosa dan perbuatan ini termasuk tindakan penipuan terhadap kalangan awam dari kaum muslimin. Dimungkinkan sebagian orang yang telah mendengar berita-berita itu akan mengamalkannya secara keseluruhan atau sebagiannya bahan mungkin juga sebagian atau mayoritasnya berisi kedustaan yang tidak ada asal-usulnya- padahal hadits-hadits shahih dari riwayat orang-orang yang terpercaya dan mamiliki sifat qana’ah adalah lebih banyak daripada memaksakan diri memilih orang-orang yang tidak tsiqah dan tidak memiliki qana’ah.” (Mukadimah Shahih Muslim, 1/26-28)
                Maka apa yang hendak engkau katakan -wahai da’i yang bijaksana- menyaksikan bukti gelar-gelar buruk, “al-kadzdzab” dan “kotoran onta lebih aku sukai daripada dia” yang keluar dari lisan dan tulisan para a’immah ahlus Sunnah di atas?
[33]              Marilah kita menganjurkan saudara Abdullah untuk lagi footnote di atas, barakallahufiik.
[34]              Kita katakan kepada da’i berakhlaq karimah ini:” Allahu Akbar, luar biasa…orang yang sudah meninggal digelari dengan ASY-SYAHID. Kalau ada orang mengatakan ASY-SYAHID, itu khusnul khatimah atau su’ul khatimah? Khusnul khatimah. Khusnul Khatimah itu masuk mana? Surga. Itu vonis, satu kata dan seorangpun tidak boleh memvonis masuk neraka dan tidak boleh memvonis masuk surga. Dan sekarang lihatlah orang-orang yang duduk di sebelahmu. Merekalah kelompok yang suka memvonis anggota alirannya baik yang mati dengan bom bunuh diri, mati digantung dan sebagainya dengan vonis masuk surga. Dan engkau tazkiyah sebagai orang-orang yang dikenal memperjuangkan Islam wahai Abdullah? Ini adalah bukti terang benderang bahwa anda berwala’  pada pihak ASY-SYAHID.
                Kami sangat terkesan dengan pengakuan anda yang telah bermulazamah dengan Syaikh Utsaimin rahimahullah selama 4 tahun, sungguh merupakan waktu yang cukup untuk menyerap keilmuan beliau dan mengokohkan diri untuk tegak di atas manhaj salafush shaleh. Namun demikian kami harap andapun terkesan dengan hadiah berupa untaian kalimat yang hendak kami haturkan, demi menghormati anda. Bahwasanya sikap Syaikh rahimahullah terhadap orang-orang yang “suka memvonis” para pembesar hizbinya mati SYAHID dan bahkan menggelari mereka sebagai “orang-orang yang dikenal memperjuangkan Islam “, perhatikanlah baik-baik wahai Abdullah:
                Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pernah ditanya:
                “Apakah boleh kita menggunakan istilah “syahid” khusus hanya buat seseorang dan atau dengan sebutan: “yang syahid, dan seterusnya dan seterusnya’?”
                Syaikh menjawabnya seraya berkata:
                Kutipan:
                “Tidaklah dibenarkan kita itu menilai seseorang dengan menyebutkannya sebagai seorang yang syahid, walaupun dia itu mati dalam keadaan membela kebenaran, oleh karenanya kita tidak boleh menyebutnya “yang demikian dan seterusnya sebagai seorang yang syahid”.  Dan ini memang sangatlah bertentangan dengan apa yang selama ini ada dalam masyarakat, mereka dengan leluasanya menamai dan memberikan gelar bagi siapa yang meninggal, bahkan seringkali mereka yang meninggal dalam keadaaan jahiliyyah, mereka menamai mereka ’syahid’. Ini merupakan tindakan yang sifatnya haram karena dengan mengucapkan syahid terhadap seseorang yang terbunuh dia anggap sebagai sebuah kesaksian terhadap orang yang mati tersebut dan akan dimintai pertanggung-jawaban nanti di Hari Kebangkitan. Kita nanti akan ditanya: “Apakah anda tahu bahwa dia itu mati dalam keadaan syahid?” Rasulullah juga pernah bersabda:
(Tak seorangpun yang terluka di jalan Allah, dan Allah itu lebih tahu siapa saja yang rela di jalanNya, melainkan dia akan datang di Hari Kebangkitan dan darah dari lukanya itu akan merembes, warnanya akan menjadi warna darah, dan baunya akan seperti parfum).
Jadi memperhatikan apa yang disabdakan oleh baginda Rasul (bahwa Allah lebih tahu siapa yang rela berkorban di jalannya) (dalam hadits): itu berarti dia memang benar-benar terluka.
                Jadi bagi semua orang, meskipun mereka dalam keadaan berjuang, Allah-lah yang tahu segalanya, yang tahu semua yang tersimpan di lubuk hati kita masing-masing yang terkadang tidak sesuai dengan apa yang semestinya dikerjakan. Dalam Shahih Bukhari, bahwasanya: (Bab: tidaklah dikatakan yang demikian itu sebagai syahid}, karena kalimat shahadah itu letaknya ada didalam hati. Tak seorang pun yang tahu apa yang ada dalam hati kecuali Allah semata.”
                Lihat Al-Fatawa Syaikh Ibn ‘Utsaimin
                (Sumber artikel: http://www.salafitalk.net/st/viewmessages.cfm?Forum=9&Topic=5220)
                Kita katakan: Apakah engkau kenal dengan Syaikh Utsaimin rahimahullah wahai Abdullah (Hamba Allah) yang Shaleh?
                Belum selesai, kita tutup footnote ini dengan rincian “nama-nama orang” yang dituduh Abdullah Hadrami telah memvonis saudara-saudaranya yang telah memperjuangkan Islam sebagai ‘mati konyol’ :
                Fatwa Para Ulama Senior Tentang Bom Bunuh Diri
Penulis: Hai’ah Kibarul Ulama Saudi Arabia
Fatwa-Fatwa, 19 Oktober 2003, 00:35:11
                Segala puji hanyalah bagi Allah sendiri, semoga Shalawat dan Salam atas nabi terakhir Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarganya dan para shahabatnya.

Amma Ba’du,
Hai’ah Kibarul Ulama telah mengadakan pertemuan khusus pada hari Rabu, tanggal 13 Rabi’ul Awal 1424, yang pertemuan itu membahas mengenai ledakan di kota Riyadh yang terjadi pada hari Senin, tanggal 11 Rabi’ul Awwal, yang peristiwa itu mengakibatkan adanya korban terbunuh, penghancuran, teror dan kerusakan yang ditimbulkannya di masyarakat, baik itu dari kalangan Muslimin dan selainnya.

Sudah diketahui bahwa Syari’ah Islam telah datang untuk melindungi lima hal penting dan melarang untuk melanggar lima hal itu, lima hal itu adalah :
1. Agama,
2. Kehidupan,
3. Harta benda,
4. Kehormatan,
5. Akal budi

Muslimin dilarang untuk melanggar hal tersebut di atas terhadap orang-orang yang berhak dilindungi. Orang-orang tersebut mempunyai hak-hak yang dilindungi berdasar pada syari’ah Islam yakni :

Muslimin, adalah tidak diperbolehkan untuk melanggar hak setiap muslimin atau membunuhnya tanpa adanya sebab yang membolehkannya. Barangsiapa melakukannya, Maka ia telah melakukan dosa besar, bahkan merupakan salah satu dosa besar yang paling besar ! Dan Allah Ta’ala berfirman :

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
 “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS An Nisa 93)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman  :
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, ataubukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya”. (QS Al Maidah 32)Mujahid rahimahullah berkata,”Dosanya (artinya dosanya membunuh seseorang adalah sama beratnya dengan membunuh seluruh umat manusia), ini menunjukkan bahwa besarnya dosa membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan”.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِى، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفاَرِقُ لِلْجَماَعَةِ
“Darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah adalah tidak diperkenankan (untuk ditumpahkan darahnya) kecuali berdasarkan pada tiga hal, (1) balasan karena telah membunuh seseorang (qishash, red), (2) menghukum pezina (rajam, red), (3) seseorang yang meninggalkan agamanya (murtad, red), meninggalkan dari al Jama’ah” (Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafadznya Al Bukhari)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقاَتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِماَءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
“Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka melakukan hal tersebut, maka darah mereka dan hartanya adalah dilindungi dariku, kecuali dikarenakan hak Islam atasnya, dengan sebab itu mereka bersama Allah” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu’Umar radhiyallahu ‘anhu)Dan dalam Sunan An Nasa’i, dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْياَ أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh hilangnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim” .Pada suatu hari Ibnu Umar melihat ke Ka’bah dan berkata (ditujukan pada Ka’bah),”Begitu besarnya kamu, dan begitu besarnya kesucianmu, tapi orang-orang yang beriman itu lebih besar kesuciannya di hadapan Allah dibanding kamu” (Artinya Al Haram itu dilindungi dan aman dari peperangan dan pertumpahan darah, tapi orang-orang yang beriman itu lebih dilindungi dan diamankan dari mengalirnya darah mereka)
Dan nash-nash itu dan yang lainnya menunjukkan tentang kenyataan yang sangat besar bilainya yaitu tentang kesucian darah muslimin, dan dilarang untuk membunuh muslim tanpa adanya alasan yang membenarkannya dari Syari’ah, maka tidak diperbolehkan untuk melanggar setiap muslim tanpa ada alasan (yang dibenarkan Syariat, red).

Usamah bin Zaid berkata “Rasulullah mengutus kita ke Al Huruqa, dan pada pagi harinya kami menyerang mereka dan mengalahkan mereka. Aku dan seseorang dari kalangan Anshar mengikuti salah seorang dari mereka dan ketika kami akan menangkapnya, dia berkata:’La Ilaha Ilallah’.

Demi mendengar hal ini orang dari Anshar itu menahan diri, tapi aku membunuhnya dengan menebasnya dengan pedangku. Ketika kami kembali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menanyakan hal tersebut dan kemudian berkata,’Wahai Usamah apakah kamu membunuhnya setelah dia berkata ‘La Ilaha Ilallah’? Aku (Usamah) berkata,’Tapi dia berkata itu karena dia ingin dirinya selamat’. Beliau mengulang-ngulang pertanyaan ini berkali-kali sampai aku merasa bahwa aku belum pernah masuk Islam sebelumnya”(Muttafaq ‘Alaih, dan lafadznya dari Al Bukhari)

Hal ini menunjukkan, dan mengindikasikan dengan sangat jelas, tentang ketinggian nilai dari kehidupan. Riwayat ini menceritakan seorang musyrikin yang ikut berperang dengan kaumnya, dan mereka berjihad melawan kaum musyrikin, dan ketika mereka (Usamah bin Zaid dan seorang dari Anshar) hendak menangkapnya, dia berkata dengan (ungkapan) Tauhid, tapi Usamah bin Zaid membunuhnya, dan menyatakan bahwa apa yang dia katakan itu hanyalah dalam rangka untuk melindungi dari kematiannya, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima pernyataan dan penjelasan Usamah tentang kondisi sebenarnya. Ini merupakan sesuatu hal yang sangat besar, yang menunjukkan sucinya darah kaum muslimin dan dosa besar bagi siapa saja yang melakukan pembunuhan terhadap kaum muslimin.

Selain dari darah kaum muslimin, maka harta bendanya pun juga dilindungi. Berdasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّ دِماَءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا
“Darahmu dan hartamu adalah suci dari orang lain, seperti sucinya harimu ini, dan sucinya kota kalian (Mekkah), dan bulanmu” (Diriwayatkan oleh Muslim, dan ini adalah merupakan dari khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat hari Arafah, Al Bukhari dan meriwayatkan yang semisalnya pada bab Yaumun Nahr)Dari sini, maka larangan dari membunuh nyawa yang telah dilindungi tanpa alasan yang diperbolehkan telah jelas.
Dari orang-orang yang hidup yang dilindungi selain Muslim adalah:
1. Mereka (non muslim) yang mengadakan perjanjian,
2. Dzimmi,
3. Mereka (non muslim) yang mencari perlindungan dari kaum muslimin.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعاَهِدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَاماً
“Barangsiapa yang membunuh seseorang yang telah mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, maka dia tidak akan mencium bau surga, walaupun baunya itu tercium dari jarak 40 tahun” (Riwayat Al Bukhari)Dan terhadap siapa saja yang Waliyul ‘Amr telah membolehkannya masuk ke wilayahnya dengan perjanjian dan menjanjikan jaminan keamanan baginya, maka hidupnya dan hartanya adalah dilindungi, tidak dibolehkan untuk mengganggunya, dan barangsiapa membunuhnya maka dia adalah sesuai dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia tidak akan mencium bau surga”. Dan hal ini adalah merupakan peringatan keras terhadap siapa saja yang melawan mereka yang telah mengadakan perjanjian.
Dan telah diketahui bahwa pelindung kaum muslimin adalah satu kesatuan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Darah kaum mukminin adalah satu, dan ada beberapa orang dari mereka yang melindungi keamanan mereka”.

Ketika Ummu Hani’ memberikan perlindungan pada seorang musyrikin pada tahun penaklukan (Fathu Makkah), maka Ali bin Abi Tahlib ingin membunuhnya, lalu Ummu Hani’ pergi ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan tentang hal tersebut, maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
قَدْ أَجَرْناَ مَنْ أَجَرْتِ ياَ أُمَّ هاَنِئٍ
“Kami memberikan perlindungan terhadap siapa saja yang kau memberikan perlindungan padanya, wahai Ummu Hani’” (Riwayat Al Bukhari dan Muslim)Maksudnya disini adalah bahwa seseorang yang masuk ke suatu daerah (muslim) dengan berdasarkan pada perjanjian untuk mendapatkan jaminan keamanannya, atau seseorang yang telah diberikan janji oleh seseorang yang memegang kekuasaan berdasarkan pada adanya maslahah yang dia (pemegang kuasa) lihat dari orang itu, maka tidak diperbolehkan untuk melanggar dan tidak boleh untuk mengganggu hidup dan hartanya.
Dan setelah menjelaskan tentang hal ini dengan sejelas-jelasnya, maka apa yang terjadi yaitu peristiwa pemboman (bom bunuh diri) di kota Riyadh adalah sesuatu yang dilarang, yang dinul Islam tidak menyetujui hal tersebut, dan hal ini adalah haram berdasarkan pada beberapa hal :

1. Kegiatan ini merupakan pelanggaran terhadap sucinya wilayah muslimin dan hal ini dapat menakut-nakuti siapa saja yang dilindungi dan keamanan didalamnya
2. Kegiatan ini mengandung sifat membunuh orang-orang yang hidup, yang syari’ah Islam melindunginya
3. Kegiatan ini mengakibatkan kerusakan di bumi
4. Kegiatan ini mengandung unsur perusakan harta benda dan apa-apa yang dimiliki, sementara hal itu dilindungi

Dan Hai’ah Kibarul Ulama menjelaskan hal ini dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin supaya tidak melakukan penghancuran terhadap hal-hal yang dilarang untuk dihancurkan, dan dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari usaha-usaha syaithan, yang dia tidak akan pernah berhenti untuk mengganggu hamba Allah sampai dia masuk kepada hal-hal yang merusak, dengan melalui cara-cara yang ekstrim, melampaui batas dalam beramgama, atau tidak senang pada agama, dan menentang aturan agama dan sebaik-baik untuk meminta perindungan adalah Allah. Dan Syaithan tidak akan memperdulikan pada cara apapun selama dia dia (syaithan) dapat menang terhadap hamba Allah, sebab dengan jalan-jalan itu, yaitu ekstrem dan tidak senang pada agama adalah merupakan jalannya syaithan yang dapat membuat seseorang jatuh ke dalam murka dan hukuman dari Ar Rahman (Allah).

Dan apa-apa yang telah dilakukan oleh mereka yang melakukan perbuatan (bom bunuh diri) ini, adalah merupakan usaha membunuh diri-diri mereka sendiri dengan meledakkan diri mereka sendiri, yang perbuatannya itu akan menyebabkan dia secara umum masuk pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salllam,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْياَ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِياَمَةِ
“Barangsiapa membunuh dirinya sendiri di dunia dengan cara apapun, maka Allah akan menghukum dia dengan hal yang sama (yang dia lakukan yang menyebabkan dia terbunuh) di hari kiamat” (Diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah dalam Mustakhraj-nya, dari Tsabit bin Ad Dhahak radhiyallahu ‘anhu)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيْدَةٍ فَحَدِيْدَتُهُ فِيْ يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهاَ فِيْ بَطْنِهِ فِيْ ناَرِ جَهَنَّمَ خاَلِدًا مُخَلَّدًا فِيْهاَ أَبَدًا وَمَنْ شَرِبَ سَمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَحَسَّاهُ فِيْ ناَرِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهاَ أَبَدًا وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِيْ ناَرِ جَهَنَّمَ خاَلِدًا مُخَلَّدًا فِيْهاَ أَبَدًا
“Orang yang melakukan bunuh diri dengan menikam dirinya dengan besi (pedang) yang ada ditangannya, maka dia akan ditikam dengan pedang itu pada tubuhnya di neraka dan dia tetap di dalamnya (di neraka) selamanya. Barangsiapa mengambil racun dan membunuh diri dengannya, maka dia akan meminum racun itu di neraka dan dia tetap berada di dalamnya (di neraka) selamanya. Barangsiapa melemparkan diri dari atas gunung dan membunuh dirinya dengan cara itu, maka dia akan jatuh di dalam neraka dan dia tetap didalamnya (di neraka) selamanya.” (Riwayat Al Bukhari)Maka ketahuilah, bahwa musuh-musuhmu, dari setiap sisi, telah membentuk umat Islam demi kekuasaan mereka. Mereka bergembira dengan semua cara-cara yang dapat membenarkannya pada kekuasaan mereka, di atas umat Islam. Padahal hal itu untuk membenarkan mereka dalam menghina umat Islam, dan mengambil keuntungan dari sumber penghasilan dan kekayaan umat Islam. Maka barangsiapa mendukung mereka dalam mencapai tujuannya itu, dan membukakan untuk mereka jalan kepada kaum muslimin dan wilayahnya, maka dia telah mendukungnya dalam rangka membawa kesusahan di atas kaum muslimin dan dalam rangka menguasai wilayahnya. Ini merupakan perbuatan kesewenang-wenangan yang amat besar.
Maka wajib untuk mendasarkan diri pada ilmu yang didasari oleh Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salaful Ummah, yang hal ini dapat ditemukan di sekolah-sekolah, univeristas-universitas, masjid-masjid dan media informasi lainnya. Seperti juga wajib untuk mendasarkan diri pada ‘amar ma’ruf nahi munkar dan saling memberikan nasehat satu sama lain di atas al haq. Hal ini sangat diperlukan, bahkan sangat diperlukan, dan mendakwahkan hal ini pada saat ini lebih diperlukan daripada pada waktu-waktu yang telah lampau. Dan sudah seharusnya para pemuda-pemuda Islam untuk selalu mendasarkan pada pendapat-pendapat yang baik yang berasal dari ulama mereka dan mengambilnya dari mereka, maka mereka akan tahu siapa musuh agama mereka sebenarnya, yang mereka-mereka (musuh agama) itu berusaha keras dalam mencaci maki para pemuda dan Ulama serta penguasa. Sebab dengan hal itu mereka ingin agar kekuatan para pemuda itu lemah dan akhirnya mereka dapat mengambil kendali pada diri-diri para pemuda dengan sangat muda. Oleh karena itu, wajib untuk berhati-hati dari hal itu.

Semoga Allah melindungi setiap orang dari usaha-usaha musuh, dan supaya kaum muslimin takut pada Allah baik secara lahir dan batin, dan selalu beramal shalih, serta benar-benar bertaubat dari segala dosa. Tak ada malapetaka yang akan turun kecuali karena dosa, dan tak ada malapetaka akan dimunculkan kecuali dengan bertaubat. Kami meminta kepada Allah untuk mengembalikan keadaan kaum muslimin, dan menjauhkan wilayah kaum muslimin dari setiap kejahatan dan hal-hal yang tidak disukai. Sholawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.

Hai’ah Kibarul Ulama (Majelis Ulama Senior)

Diketuai oleh ‘Abdul-Aziz bin Abdullaah bin Muhammad Aal ash-Shaykh
Anggota :
Salih bin Muhammad al-Lahaidaan
Abdullah bin Sulaiman al-Muni’
Abdullah bin Abdurahman al-Ghudayan
Dr. Salih bin Saalih al-Fauzaan
Hasan bin Ja’far al-’Atami
Muhammad bin Abdullah as-Subayyil
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Alus-Syaikh
Muhammad bin Sulaiman al-Badr
Dr. Abdullah bin Muhsin al-Turki
Muhammad bin Zaid as-Sulaiman
Dr. Bakr bin Abdullaah Abu Zaid (tidak hadir karena sakit)
Dr. Abdul-Wahhab bin Ibrahim as-Sulaiman (tidak hadir)
Dr. Salih bin Abdullah al-Humaid
Dr. Ahmad bin Sair al-Mubaraki
Dr. Abdullaah bin ‘Ali ar-Rukban
Dr. Abdullaah bin Muhammad al-Mutlaq

(Diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia oleh tim Salafy.or.id dari bahasa Inggris oleh Abul-’Abbaas dan Abu ‘Iyaad (UK), URL asal http://www.fatwa-online.com/news/0030518.htm)
                (Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=287)
                Saudaraku sekalian rahimakumullah, silakan sekarang anda pilih antara pendapat “Profesor Abdullah Hadrami” yang kapasitas keilmuannya sangat luar biasa dan beliau ini tidak kalah dengan syaikh ataukah fatwa Hai’ah Kibarul Ulama mengenai “vonis bom bunuh diri” yang ternyata fatwanya “tidak berhasil diadudomba” dengan Syaikh Rabi’ hafidhahullah oleh Abduh ZA-Pustaka Al-Kautsar? Tentu saja anda sekalian mengetahui bahwa tidak semua anggota Hai’ah Kibarul Ulama bergelar Profesor sebagaimana gelar yang disematkan pembawa acara di pundak Profesor Abdullah Hadrami.
[35]              Alangkah bedanya antara “Profesor” Abdullah Hadrami (yang takut menunjukkan jati dirinya sehingga berdakwah dengan kalimat-kalimat politis dan bersayap agar bisa di”santun”i oleh semua kelompok dan yang “tidak mengingkari” ketika dipuji oleh pemandu acara sebagai “dari sisi kapasitas keilmuan beliau sangat luar biasa” “…dan saya yakin kapasitas keilmuan beliau semua di sini tidak kalah dengan Syaikh…”) dengan Syaikh Bin Bazz rahimahullah:
                Syaikh Abdul Aziz Bin Bazz rahimahullah ditanya:”Apa pendapat anda terhadap orang yang menyebut dirinya assalafi dan al-atsari, apakah itu termasuk tazkiyah (yang terlarang)?”
                Beliau rahimahullah menjawab:”Jika dia jujur sebagai seorang salafi atau atsari, maka tidak mengapa, seperti perkataan para ulamasalaf bahwa si fulan itu salafi, fulan atsari, tazkiyah semacam ini sangat diharuskan bahkan wajib” (dari ceramah yang terekam dalam kaset dengan judul “Hak Seorang Muslim” di Thaif)
                Sungguh sangat menyedihkan bahwa fatwa beliau ini bagi Abdullah Hadrami tidak laku lagi, dan sudah bosan jika ditanya demikian. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
[36]              Saudaraku sekalian, apakah anda merasakan siasat halus dalam menghancurkan al-wala’ wal bara’ dengan bersembunyi di belakang nama besar Syaikh rahimahullah? Bisakah engkau menyodorkan bukti ? Sungguh orang ini harus kita waspadai, sudah terbukti beberapa kali dia berkumpul dengan pembesar Ikhwanul Muslimin. Apakah kita hendak tidak mewaspadai, tabayyun, tatsabut atas riwayatnya?
                Karena yang menjadi sasaran utama mereka (koalisi nasional Ikhwani-NII/Ba’asyiri-Sururi) adalah Syaikh Rabi’ hafidhahullah, maka inilah Syaikh Rabi’ sendiri yang akan menghancurkan gerakan anti al-wala’ wal bara’ fil Islam ini.
                Syaikh Rabi’ berkata: “Kami menanyakan kepadanya apakah Jama’ah Tabligh tegak di atas apa yang  telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya dan sesuai dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam batasi sebagai firqah yang selamat di antara firqah-firqah yang binasa … .”
                Apakah Jama’ah Tabligh dengan thariqat Ad Diyobandi-nya mengajarkan di Madrasah (halaqah) mereka tauhid dengan manhaj Salafus Shalih, seperti kitab As Sunnah oleh Al Lalikai, Al Ibanah oleh Ibnu Baththah, Aqidah Wasithiyah, Al Hamawiyah ataupun At Tadmuriyah?
                Apakah mereka mencintai buku-buku tersebut dan para penulisnya, menasehatkan manusia untuk mempelajarinya? Atau sebaliknya mereka justru memerangi buku-buku tersebut dan penulisnya, membuangnya, serta menuduh para penulisnya dengan tuduhan kesesatan, kemudian menetapkan buku-buku bid’ah seperti An Nisfiyyah, Al Muyasirah, buku-buku Ar Razi dan buku-buku aqidah lainnya seperti Maturidiyah, Asy’ariyah, dan Jahmiyah?
                Apakah dalam masalah tauhid ibadah mereka menetapkan kitab tauhid dan syarah-syarahnya? Kitab tawassul dan wasilah, bantahan kepada Al Bakri, Ighatsatul Lahfan dan yang semisalnya?
                Atau apakah mereka justru memerangi buku-buku tersebut dan para penulisnya, kemudian mengajarkan buku-buku ilmu kalam, mantiq, filsafat, dan buku-buku tasawwuf yang syirik?
                Apakah mereka mencintai Ahlul Hadits, para muwahhidin (yang bertauhid) karena mereka bertauhid, memerangi syirik, dan menolak sikap ta’thil (penolakan sifat bagi Allah)?
                Apakah mereka mencintai Ahlus Sunnah yang berpegang dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau membencinya?
                Terakhir, disamping bencana-bencana di atas mereka juga berbaiat kepada empat thariqat sufi yaitu : An Naqsyabandiyah, As Sahrurdiyah, Al Jistiyah, dan Al Qadiriyah. Padahal di dalam thariqat-thariqat tersebut terdapat aqidah al hulul (seluruh makhluk merupakan penjelmaan Allah) dan wihdatul wujud (keyakinan bersatunya Allah dengan hamba-Nya) dan juga keyakinan bahwa para wali (yang sudah mati) dapat berpengaruh pada alam ini. Pegangan mereka adalah kitab Tablighi Nishab (manhaj Tabligh) yang penuh dengan aqidah sesat dan hadits-hadits palsu. Bersamaan dengan ini semua mereka berpaham Murji’ah. Semua perkara-perkara di atas telah melebihi mutawatir. (Jamaah Wahidah halaman 56. Untuk lebih jelasnya lihat buku Al Qaulul Baligh oleh Syaikh At Tuwaijiri)
                Apakah kelompok seperti mereka dapat dikatakan Ahlus Sunnah?
                Kemudian Syaikh Rabi’ mengatakan tentang Ikhwanul Muslimin : “Adapun tentang Ikhwanul Muslimin, mereka sama halnya dengan Jamaah Tabligh dalam seluruh bencana-bencana di atas ditambah lagi masuknya Rafidlah, Khawarij, bahkan Nashara dalam jamaah mereka. Juga ucapan mereka tentang berbilangnya agama dan persaudaraan antar agama. Doktor At Turabi –penentu kebijaksanaan mereka– telah mengajak dalam salah satu muktamar yang diadakan di Sudan kepada persatuan agama. (Lihat Shahifah As Sudan Al Hadits nomor 1202 tanggal 29 April 1993) Hasan Makky, salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin yang paling menonjol, juga mengajak untuk menegakkan partai Ibrahimy yang merupakan partai gabungan antara Yahudi, Nashara, dam Muslimin. (Lihat Majalah Al Multaqa nomor 4) Berkata pula Qaradlawi tentang kebolehan berbilangnya agama dan bahwasannya kehidupan ini memungkinkan untuk lebih dari satu agama. Setelah dia mengkaburkan perselisihan antar firqah-firqah termasuk di dalamnya Rafidlah dengan kaidah mereka yang sesat : “Kita tolong-menolong dalam hal yang kita sepakati, dan saling toleransi pada apa yang kita perselisihkan.” Inilah sikap tengah (menurutnya, pent.). Sependapat dengannya dalam hal ini adalah Ghazali, At Turabi, dan Huwaidi. Mereka menamakan pandangan ini dengan ruh Islam. (Lihat Majalah Al Mujtama’ nomor 1118 tanggal 21 Rabi’ul Akhir 1415 H)
                Pada penjelasan yang dilontarkan oleh Ikhwanul Muslimin, mereka menetapkan sikap terhadap selain kaum Muslimin. Mereka berbicara tentangnya dengan nama Islam dan berlepas diri dari kelompok yang menyelisihi mereka. Mereka menjelaskan dengan ucapan mereka : “Ikhwanul Muslimin berpendapat bahwa manusia seluruhnya adalah pembawa-pembawa kebaikan yang mampu memikul amanat. Sikap kita terhadap saudara-saudara kita dari kalangan Masihiyin (Kristen) di Mesir dan dunia Arab adalah sikap yang jelas, terdahulu, dan ma’ruf yaitu : ‘Bagi mereka apa yang bagi kita, dan atas mereka apa yang atas kita.’ Mereka adalah sekutu-sekutu dan saudara dalam pembelaan negara yang panjang. Untuk mereka semua hak-hak warga negara, baik segi materiil maupun moril, budaya maupun politik. Berbuat baik dan bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan merupakan kewajiban-kewajiban Islam. Seorang Muslim tidak boleh meremehkan dan menyepelekan untuk menempatkan dirinya dalam hukum-hukum tersebut. Barangsiapa yang mengucapkan selain ini atau berbuat selain ini, maka kami berlepas diri dari ucapan dan perbuatan mereka.” (Lihat Majalah Al Mujtama’ nomor 1149 tanggal 9 Dzulhijjah 1415 H)
                Pembicaraan tentang muktamar-muktamar persatuan agama dan diskusi antar agama sangat panjang merupakan perkara-perkara yang sangat jelas dan mutawatir. Mereka secara terang-terangan menjelaskan hal tersebut di dakam buku-buku, buletin-buletin, majalah-majalah mereka, dan di dalam jumpa pers.
                Apakah boleh bagi seorang yang memberikan nasehat bagi dirinya dan bagi Islam untuk membela mereka (Tablighi dan Ikhwani), dan senantiasa menggolongkan mereka pada Ahlus Sunnah wal Jamaah (wahai Abdullah Hadrami – yang mengaku telah bermulazamah kepada Syaikh Utsaimin rahimahullah selama 4 tahun- )?
[37]              Bagaimana mungkin engkau berani melakukan “keberanian” yang luar biasa seperti ini, sementara anda mengaku dan berjuang di atas manhaj salafush shalih?  Lalu di nomor berapa aqidah itu sendiri engkau letakkan?  Bagaimana mungkin engkau berhasil memperjuangkan Islam dan kaum Muslimin, sementara aqidah bagi anda bukanlah hal yang terpenting? Dengan “manhaj siapa” wahai Abdullah anda hendak memperjuangkan kaum Muslimin? Sesungguhnya semakin jelas tempat duduk anda dalam kemelut ini wahai Abdullah. Engkau sedang “memperjuangkan kaum Ikhwanul Muslimin”, dan ini yang paling penting. Semoga Allah berkenan memberikan hidayahNya kepadamu dan kepada kita semua.
[38]              Adakah salafiyyun yang menghalangi-halangi orang yang memperjuangkan Islam? Kenapa bapak ‘Profesor’ menggunakan bahasa-bahasa politis dan bersayap? Kenapa tidak menjelaskan dengan rinci dan lebih ilmiah ? Siapa yang menghalang-halangi dan siapa pula yang dihalang-halangi? Bagaimana mungkin salafiyyin tidak memperjuangkan Islam, apalagi sampai menghalang-halanginya? Tetapi kalau yang bapak ‘Profesor’ maksudkan adalah perjuangan Islam gaya partai Ikhwani  sebagaimana induk semangnya yang dulu ‘Profesor’ do’akan dan “berhasil” ? Ataukah  perjuangan Islam gaya bombingnya Imam Samudra dan NII-nya Ba’asyir, justru salafiyyin wajib menjeleaskan bagi umat untuk tidak terkecoh dan tertipu oleh tangan-tangan mereka yang sebenarnya telah berlumuran darah kaum Muslimin.
[39]              Apakah para ulama Ahlus Sunnah berdiam diri menyaksikan kitab-kitab yang menyimpang yang terus dicetak dan disebarluaskan oleh firqah-firqah sesat? Berapa banyak kitab-kitab salafush shalih baik yang dulu maupun sekarang yang khusus ditulis untuk membantah, menyingkap dan menelanjangi kedok kelompok-kelompok sesat, wahai Abdullah? Apakah engkau tidak pernah mendengar nama “Ibnu Taimiyah rahimahullah”, sehingga dirimu tega mengingkari kenyataan ini ? Bukankah kitab-kitab Radd beliau rahimahullah merupakan bukti ilmiyyah bahwa para ulama tidak akan pernah rela dengan berbagai bid’ah dan kesesatan yang berusaha ditancapkan kepada umat? Kalau mereka semua ridwanullah alaihim ajma’in membiarkannya, berdiam diri dan tidak membantah kesesatan dan syubhat yang dilemparkan kepada umat –sebagaimana proyek yang anda perjuangkan ini-, bukankah kaum Muslimin yang akan engkau korbankan? Engkau hendak menciptakan kemelut bagi umat ini wahai Abdullah? Engkau hendak membelenggu tangan-tangan Ahlul Haq agar tidak dapat memegang pena-pena mereka dan sebaliknya memberi jalan lempang bagi para penyesat umat untuk menjejalkan berbagai bid’ah, kesesatan dan hizbiyyahnya kepada kaum muslimin? Afala ta’qilun?
                Apakah engkau hendak mengingkari Ayat-ayat Allah Ta’ala? Firman-Nya :
   كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
 “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah….” (Ali Imran : 110)
                Dengan cara apa engkau “melarang yang munkar  wahai Abdullah,  sementara dirimu melarang umat untuk membantah berbagai syubhat, bid’ah dan seribu satu macam kesesatan yang terus disuarakan oleh duatu ‘ala abwabi jahannam? Sesungguhnya engkau bermimpi bahwa diamnya Ahlus Sunnah akan menjadikan Ahlul Batil berhenti pula menyuarakan kebatilannya. Peperangan Ahlul Haq melawan Ahlul Batil akan terus berlangsung hingga Kiamat berlangsung. Dan di acara bedah buku nasional ini, anda memberikan resep jitu dan solusi ampuh untuk menyelesaikannya ? Jawablah dengan kejujuran imanmu, wahai Abdullah. Benarnya akhlak anda adalah salah satu bukti kebenaran iman anda.  
[40]              Lihatlah wahai saudaraku pernyataan yang sangat gamblang ini yang membuktikan bahwa dirinya benar-benar seorang Ikhwani yang berkedok salafi. Kini dia telah menyatakan dengan jujur tentang ke-Ikhwani-annya. Kalau anda sudah membaca buku Siapa Teroris Siapa Khawarij – yang dia puji dan dia bela sedemikian rupa ini – maka tidaklah anda membuka dan membaca awal halaman sampai di akhir halamannya, kecuali berisi pembelaan-pembelaan yang luar biasa terhadap tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin dan berbagai kerancuan serta kesesatan yang mereka kumandangkan. Jamaluddin Al-Afghani Ar-Rafidhi Al-Masuni, idola Ahmad Surkati (pendiri al Irsyad, red) pun dibelanya.
[41]              Perhatikanlah wahai saudaraku, dimana ustadz ini duduk dalam permasalahan manhajiyah ini? Di sisi “ulama-ulama” Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyin, yang dicacat oleh ustadz Luqman ataukah di barisan ulama Salafiyyin yang dicintai oleh segenap Salafiyyin?
[42]              Apakah masih ada yang ragu bahwa “ulama dia” berbeda dengan “ulama kita”? Segala puji bagi Allah yang telah menyingkap wajah Ikhwani  di balik nama harum ‘salafi’ yang selama ini dikenakannya untuk mentalbis umat! Alhamdulillah.
[43]              Salafiyyun, apakah anda sekalian tidak diajari untuk menghormati para ulama Ahlus Sunnah? Dan apakah para ulama Ahlus Sunnah juga memberi teladan –sebagaimana ‘ustadz’ ini yang mengaku dengan bangganya sebagai murid Syaikh Utsaimin rahimahullah- kepada kita semuanya untuk menghormati ulama’ yang menyimpang (su’) ? Pengibar panji-panji hizbiyyah? Penyeru dakwah Ikhwanul Muslimin? Penyeru pengkafiran terhadap masyarakat muslimin? Penghina Nabi-Nabi Allah? Maka jawablah dengan kejujuran iman anda, wahai Abdullah (Hamba Allah) yang Shaleh Hadrami.
[44]              Ini adalah talbis dan tadlis yang berusaha dia gambarkan, seolah-olah Syaikh tidak memiliki sikap tegas terhadap penyimpangan, kesesatan, kebid’ahan dan para penyerunya. Inilah salah satu bukti kebohongannya :
                “Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alusy Syaikh membuat tahdzir (peringatan) kepada sebagian ahli bid’ah dari Oman yang telah menulis selebaran yang dapat mengaburkan pemahaman orang awam. “Sudah menjadi ijma’ Ulama Salaf termasuk Imam Ahmad bin Hambal bahwa mereka bersikap keras kepada ahli bid’ah, memutuskan hubungan, membiarkan, tidak berdebat dan menjauhinya sebisa mungkin, lebih mendekat kepada Allah meskipun dibenci dan dimusuhi oleh ahli bid’ah.” (Majmu ar Rasail wa Al Masail Najdiya, 3/111).
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Yang dimaksud dengan memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah adalah menjauhi mereka, tidak mencintai mereka dan tidak berwala’ loyal kepada mereka, tidak mengucapkan salam, tidak berkunjung dan tidak menjenguk ketika mereka sakit. Memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah adalah wajib, karena Allah berfirman,
                لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Artinya : “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Quran Surat Al Mujadilah 22). Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah memutuskan hubungan dan tidak mengajak bicara Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ Al Amri dan Hilal bin Umaiyah al Waqifi ketika absen dari perang Tabuk (tanpa alasan syar’i, red).” (Syarh Lum’atul I’tiqad hal 110).
 

                (Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Dr Ibrahim Ruhaili, Bab Definisi Ahli Bid’ah dan Ahli Ahwa’)

(Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=414)   
                Wahai Abdullah Hadrami, Apakah engkau akan menyatakan bahwa Syaikh rahimahullah tidak memiliki sopan santum karena mengajarkan kepada kita bersikap tegas terhadap ahlul bid’ah, tidak memberikan salam kepada mereka dan lain-lain ketegasan seperti di atas yang diajarkan oleh Syaikh rahimahullah? Rasanya, engkau harus membaca ulang footnote di atas agar dirimu tersadar dari hipnotis ‘Dakwah Bijaknya al-Thalibi al-Majhuli’ dan ‘Saya Teroris, Saya Khawarij’-nya Abduh ZA yang telah engkau tazkiyah sedemikian rupa.
                Terakhir, kami hadiahkan kepadamu tulisan Syaikh Bakr Abu Zaid hafidhahullah yang engkau sendiripun memuji beliau:
                Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid memberi batasan cinta dan benci karena Allah dalam kitab Hajr al Mubtadi’,”Kaidah ini termasuk logika aqidah Islam berdasarkan nash-nash dari Al Quran dan Assunnah yang banyak. Karena merupakan bagian dari ibadah yang berpahala. Bara’ dari ahli bid’ah dan menyatakan permusuhan serta memberi pelajaran dengan memutuskan hubungan hingga mereka bertaubat, merupakan ketetapan hampir dalam semua kitab-kitab aqidah ahli sunnah wal jama’ah.” (Hajr al Mubtadi’ hal. 19).
[45]              Wahai Abdullah, hanya satu “kesalahan” ustadz Luqman, beliau hanyalah memaparkan secara rinci makar-makar yang dilakukan oleh Hizbiyyun Ikhwanul Muslimin, Takfirriyyun dan sejenisnya beserta bukti ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan keliru para pembesarnya, dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama Ahlus Sunnah mengenai permasalahan ini. Adapun anda -wahai Profesor Abdullah (Hamba Allah) yang Shaleh Hadrami- yang memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa dan tidak kalah dengan syaikh? “Kebenaran” andapun hanya satu, engkau mengaku sebagai murid salah satu ulama besar Ahlus Sunnah, tetapi dirimu duduk bersama dengan pembela hizbiyyun ahlul batil  dan bersama-sama dengan mereka bahu-membahu memerangi Ahlus Sunnah dan ulama’nya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un

——– Ditranskrip oleh Abu Dzulqarnain Abdul Ghafur Al-Malanji —————-